JAKARTA – Kemarahan rakyat kembali memuncak. Pengurus Besar Liga Mahasiswa Islam Indonesia (PB LMII) mengeluarkan pernyataan keras terhadap PT Pertamina Hulu Rokan (PHR), anak perusahaan raksasa migas BUMN Pertamina, atas dugaan kejahatan lingkungan dan agraria yang terjadi di Blok Rokan, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Kasus itu menyeret penderitaan Sri Hartono, seorang warga pemilik sah tanah bersertifikat SHM No. 1962 seluas hampir dua hektare yang telah dirampas dan dikuasai sepihak oleh PHR selama lebih dari tiga tahun tanpa dialog, tanpa kompensasi, dan dengan arogansi korporasi.
“kami melihat fenomena ini tidak sekadar wujud perampasan tanah. Tapi juga wujud kerakusan negara lewat BUMN-nya, yang membiarkan rakyat kecil diinjak-injak. Tanah dikuasai, limbah beracun dibuang sembarangan, dan kehidupan rakyat dihancurkan,” tegas Ketua Komisi Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Kehutanan PB LMII, Rahmat Sirvev dalam keterangannya (01/08/2025).
Kejahatan Korporasi: Limbah B3 dan COCS di Atas Kebun Rakyat
Lahan Sri Hartono bukan sekadar tanah kosong. Di atasnya tumbuh kebun singkong produktif yang selama bertahun-tahun menjadi sumber hidup keluarganya. Namun kini, kebun itu hancur total. Tanah mengeras, air tercemar, udara beracun, dan tanaman tak bisa tumbuh sehat.
Limbah B3 dan COCS dari aktivitas pengeboran PT PHR dibuang begitu saja ke lahan warga, menciptakan bencana lingkungan permanen yang tak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam keselamatan jiwa manusia.
“Demikian merupakan bentuk kejahatan ekologis yang terstruktur. Tidak bisa dimaafkan hanya dengan permintaan maaf atau janji perbaikan. Negara harus hadir sebagai pelindung rakyat, bukan pelayan korporasi,” lanjut Rahmat.
Korporasi Kaya, Petani Miskin: Ketimpangan yang Disengaja
Menurut PB LMII, PT PHR diperkirakan mengantongi triliun rupiah dalam 3 tahun terakhir setara Rp1,5 miliar per jam dari hasil eksploitasi migas di Blok Rokan. Namun rakyat yang tanahnya dirampas tidak menerima apa pun kecuali penderitaan.
“PBB dibayar, tapi pemilik tanah tak diberi sepeser pun. Ini bentuk penguasaan brutal, mirip penjajahan gaya baru. Apakah negara benar-benar membiarkan ini terus terjadi?” tanya Rahmat geram.
5 Dosa Berat PT PHR yang Tak Terbantahkan
PB LMII mencatat lima pelanggaran fatal yang menjadi dasar kecaman:
1. Penyerobotan lahan sah milik warga tanpa persetujuan dan kompensasi.
2. Pembuangan limbah B3 dan COCS secara ilegal di tanah produktif rakyat.
3. Penghancuran sumber pangan keluarga yang bergantung pada kebun singkong.
4. Pengabaian proses mediasi resmi oleh Kemenkumham, bentuk nyata dari arogansi korporasi.
5. Penolakan terhadap hasil pengukuran BPN, yang menegaskan tanah tersebut tidak sengketa dan bukan aset negara.
Tuntutan Tegas PB LMII untuk Negara dan Aparat
Atas dasar fakta tersebut, PB LMII menyampaikan tuntutan nasional, antara lain:
1. Ganti rugi Rp36,5 miliar kepada Sri Hartono sebagai bentuk keadilan substantif.
2. Pemanggilan dan pemeriksaan direksi PT PHR oleh DPR RI dan aparat hukum atas dugaan pelanggaran UU Agraria dan UU Perlindungan Lingkungan Hidup.
3. Investigasi menyeluruh oleh KLHK dan GAKKUM terkait dampak limbah dan potensi pidana lingkungan.
4. Evaluasi keras oleh Kementerian BUMN dan SKK Migas terhadap manajemen dan tata kelola PHR.
5. Pemecatan Dirut PHR Ruby Mulyawan, serta penyelesaian kasus secara terbuka, adil, dan berpihak pada rakyat.
“Jika negara membiarkan korporasi BUMN bertindak semena-mena, maka jangan salahkan jika rakyat kehilangan kepercayaan pada hukum. Tidak boleh ada satu jengkal pun tanah rakyat yang dikorbankan demi kepentingan elite,” tegas Rahmat.
PB LMII menegaskan bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti hingga benar benar keadilan ditenggelamkan. “begitu banyak rakyat yang dilindas oleh sistem. LMII akan berdiri bersama mereka yang tertindas. Sampai keadilan benar-benar hadir.” Pungkas Rahmat