Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
OPINI

MENILIK RAPERDA KAWASAN TANPA ROKOK MELARANG ASAP ROKOK TANPA ARAH, MEMATIKAN API EKONOMI RAKYAT KECIL

Avatar photo
35
×

MENILIK RAPERDA KAWASAN TANPA ROKOK MELARANG ASAP ROKOK TANPA ARAH, MEMATIKAN API EKONOMI RAKYAT KECIL

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

MENILIK RAPERDA KAWASAN TANPA ROKOK
MELARANG ASAP ROKOK TANPA ARAH, MEMATIKAN API EKONOMI RAKYAT KECIL

 

Example 300x600

Oleh: Hotman Auditua S,S.E.,M.E.,BKP
(Ketua DPP Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia Perjuangan (APKLI-P)

 

TAK KENAL, MAKA TAK SAYANG

Sebelum kita ulas tentang RAPERDA Kawasan Tanpa Rokok yang sedang berlangsung prosesnya, kita kenali dulu apa itu Kawasan Tanpa Rokok.

(KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Indonesia bertujuan melindungi masyarakat, terutama perokok pasif, dari bahaya asap rokok dan menciptakan lingkungan sehat, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok melalui larangan merokok di fasilitas kesehatan, tempat belajar, tempat ibadah, tempat kerja, tempat umum, dan area lainnya yang ditetapkan.

Kebijakan ini diatur dalam undang-undang dan peraturan daerah, serta didukung dengan penegakan aturan dan penyediaan area khusus merokok (smoking area) di tempat-tempat tertentu.

Kondisi Pro dan kontra atas Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DKI Jakarta saat ini sedang memanas dikalangan para pedagang warung, lapak PKL, UMKM, dan toko di pasar tradisional.

Faktanya didalam pasal yang menyatakan pelarangan penjualan produk rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, kebijakan tersebut tidak salah karena kita paham sekolah adalah tempat proses belajar mengajar, adalah sarana yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan atau pelatihan, dan tempat bermain anak adalah area baik tertutup maupun terbuka yang digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.

Kebijakan Rancangan Perda KTR juga harus melihat dampaknya bagi keberlangsungan ekonomi usaha rakyat kecil seperti kios-kios atau warung didekat sekolah atau tempat bermain anak yang mana mereka sudah berjualan rokok sejak lama sebelum kebijakan tersebut keluar.
Kita paham keburukan dari asap rokok bagi kesehatan baik itu perokok pasif maupun aktif, namun apakah sesederhana itu kebijakan tersebut dibuat? Tentu tidak, karena sebuah kebijakan seharusnya tidak hanya mengacu pada satu solusi tunggal dan mengesampingkan kepentingan lainnya seperti ekonomi usaha rakyat kecil.

Rancangan tersebut mulai menuai penolakan dari sejumlah pihak seperti Asosiasi Pedagang Kaki Lima Perjuangan (APKLI-P), Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara), Warteg Merah Putih (Kowamart), Paguyuban Pedagang Warteg serta Kakilima Jakarta (Pandawakarta) yang telah menandatangani deklarasi bersama penolakan atas Raperda KTR di DKI Jakarta.

Bagi mereka, jika kebijakan ini disahkan, akan mematikan usaha mereka yang selama ini menghidupi keluarga mereka. Kebijakan publik memang suatu yang kompleks, namun kajian yang tepat perlu dilakukan agar mendapatkan titik tengah paling ideal atas solusi yang menguntungkan bagi kesehatan lingkungan dan kesehatan ekonomi usaha kecil.

Jadi, sebuah kebijakan publik tentunya harus terhindar dari anggapan “melarang asap tanpa arah, padam pula dapur yang bergantung padanya”

Menurut William N. Dunn (2013), kebijakan publik adalah serangkaian alternatif tindakan yang saling berkaitan dan dirumuskan oleh aktor-aktor yang memiliki kepentingan atau kewenangan dalam pemerintahan, seperti pejabat publik, lembaga negara, dan kelompok masyarakat.

Bagi Dunn (2013) kebijakan publik bukan sekadar keputusan tunggal, melainkan bagian dari sistem yang melibatkan tiga elemen utama yaitu Public Policy (Kebijakan Publik), Policy Stakeholders (Pelaku Kebijakan), dan Policy Environment (Lingkungan Kebijakan). Tiga elemen tersebut bisa menjadi kerangka dalam melihat posisi Raperda KTR DKI Jakarta untuk kepentingan seluruh kalangan masyarakat luas.

KEBIJAKAN PUBLIK YANG BAIK DATANG DARI PEMAHAMAN UTUH, BUKAN DARI SATU SISI

Kebijakan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok/KTR Bisa Jadi Sebuah Pemaksaan Kepentingan Sepihak.

Dunn (2013) menjelaskan bahwa kebijakan publik juga tidak lepas dari pertimbangan pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Semua stakeholders perlu menjadi fokus dari pembuat kebijakan (policy makers).

Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan bagaimana pelaksana kebijakan (implementers) tidak bias dalam menafsirkan Perda KTR yang dibuat. Perda KTR tidak boleh bias dengan pasal yang mendetail sehingga tidak memicu resistensi dari masyarakat.

Perda KTR juga harus memudahkan pelaksana agar tidak menjalankan larangan menyeluruh di ruang publik, terutama jika tidak disertai edukasi dan ruang kompromi seperti zona merokok.

Selain itu overregulasi yang berpotensi menciptakan konflik antara aparat dan warga, serta memperbesar biaya pengawasan juga harus menjadi fokus sebelum Perda ini disahkan.
Pembuat kebijakan juga wajib mempertimbangkan kelompok sasaran (target groups) yang nantinya menjalankan dan menerima dampak dari kebijakan tersebut terutama masyarakat perokok dan pedagang kecil.

Pembuat kebijakan tidak boleh hanya berfokus pada pertimbangan dasar Raperda KTR untuk menciptakan udara bersih dan sehat di ruang publik tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat lainnya khususnya para pedagang kecil yang pastinya terdampak langsung Perda yang terkesan dipaksakan.

“DI MANA BUMI DIPIJAK, DI SITU LANGIT DIJUNJUNG”

Melindungi Masyarakat Ekonomi Pedagang Kecil, Menjaga Stabilitas Ekonomi Masyarakat DKI Jakarta

Kebijakan Perda KTR yang sedang disusun perlu menjaga keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi lokal, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan sektor informal.

Beberapa kebijakan RaPerda KTR yang mengganggu stabilitas ekonomi UMKM, ada beberapa point yang menuliskan :

• Larangan menjual Rokok berlaku dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan Tempat Anak Bermain.

• Larangan menjual dan membeli Rokok dikecualikan untuk Tempat Umum yang memiliki izin untuk menjual Rokok.

• Tempat umum seperti pasar modern, pasar tradisional. restoran atau rumah makan masuk sebagai Kawasan Tanpa Rokok

Faktor ekonomi tentu sangat terdampak ketika Raperda KTR ini disahkan, sekitar 1,1 juta pedagang kecil, warung kelontong, asongan, PKL, dan UMKM lainnya akan mendapat kerugian langsung dengan adanya butir pasal 17 pada Raperda KTR yang mengatur pelarangan menjual rokok. Selain itu, sektor informal seperti warung, kafe, dan tempat hiburan bisa mengalami penurunan pendapatan jika pelanggan perokok merasa tidak nyaman.

Pada konteks ini. Raperda KTR seharusnya tidak boleh mengatur pelarangan menjual rokok, melainkan harus memfokuskan pada aturan penciptaan kawasan tertentu tanpa asap rokok.

Kemudian dari faktor sosial, adanya pasal pelarangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta kewajiban pengelola yang tidak melakukan pengawasan internal, pembiaran merokok dan tidak memasang tanda larangan merokok di KTR dapat dikenai denda Rp 50 juta bisa menimbulkan masalah sosial baru.

Kekhawatiran atas konflik pengawas/pelaksana dengan masyarakat sangat besar, ditambah adanya potensi pungutan liar atas denda yang ditetapkan bisa menjadi efek negatif lanjutan dari Perda KTR yang “dipaksakan”.

Selain itu, jika Perda ini disahkan dalam waktu dekat, implementasi dilapangan akan berpotensi menimbulkan masalah, salah satunya banyak kebijakan KTR yang gagal karena tidak menyediakan ruang merokok yang layak dan terpisah, sehingga perokok tetap merokok sembarangan. Tanpa zona transisi, pelaksana di lapangan bisa saja menjalankan pelarangan total yang bisa kontraproduktif terhadap kelompok masyarakat perokok dan pedagang.

Jadi bisa dikatakan, jalan panjang harus ditempuh jika pada akhirnya harus melahirkan kebijakan yang mengatur bagaimana masyarakat merokok di tempat umum.

Untuk saat ini Raperda KTR masih jauh dari ideal, jangan sampai pengesahan atas dasar kesehatan masyarakat malah “menghapus” banyak hal positif lainnya seperti perputaran ekonomi masyarakat.

Jangan sampai, hanya karena takut asap yang tidak sehat, kita mematikan api ekonomi masyarakat kecil.

“JANGAN MENGGALI LUBANG SEBELUM SIAP”

Pertimbangkan Kembali Isi Kebijakan Perda KTR DKI Jakarta Agar Memberi Dampak Positif

Bagi Pelaku Ekonomi Menengah Kebawah
Rokok adalah produk legal, maka fokus dalam kebijakan Kawasan Tanpa Rokok dibuat secara realistis dan kita paham dampak negatif rokok, maka pengaturan bisa dilakukan dengan membatasi penjualan untuk anak di bawah umur atau meletakkan display rokok di belakang kasir.

Menurut Dunn (2013), kebijakan publik adalah hal yang kompleks karena melibatkan banyak dimensi yang saling berinteraksi dan tidak bisa disederhanakan menjadi satu keputusan tunggal. Banyak dimensi yang terkait, aktor yang terlibat serta ketidakpastian serta lingkungan yang selalu dinamis.

Jika dilihat dari permasalahan isu sosial masalah merokok di tempat umum, pro dan kontra tidak pernah lepas dari dampak kesehatan bagi perokok pasif dan hak bagi mereka yang merokok. Walaupun detail pasal yang tengah dibahas belum final, namun masalahnya tentu tidak hanya sebatas pro dan kontra tersebut.

Lebih lanjut, Pemerintah Provinsi melalui
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung menyebut Raperda ini bertujuan untuk membatasi perokok di tempat publik demi kesehatan masyarakat, bukan melarang total merokok di Jakarta.

Namun pernyataan tersebut bisa saja menjadi kontraproduktif karena adanya konteks perluasan definisi kawasan tanpa rokok dalam Raperda KTR yang tidak sesuai dengan amanah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, didalam PP tersebut pada pasal 443 dituliskan bahwa Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok.

Sehingga bagi tempat umum seperti yang tertulis di Raperda KTR yaitu pasar modern, pasar tradisional, hotel atau tempat penginapan, apartemen/rusun,restoran atau rumah makan, tempat rekreasi atau tempat hiburan, halte, terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandar udara, balai pertemuan dan Tempat Umum lainnya, maka solusinya adalah mereka WAJIB menyediakan tempat khusus untuk merokok berupa merupakan ruang terbuka, terpisah dari bangunan utama, jauh dari lalu lalang orang, dan jauh dari pintu keluar masuk, namun didalam RaPerda KTR pada pasal 17 ayat 3 disebutkan bahwa Larangan menjual dan membeli Rokok dikecualikan untuk Tempat Umum yang memiliki izin untuk menjual Rokok.

Begitu juga dengan Larangan menjual Rokok berlaku dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan Tempat Anak Bermain. Kebijakan tersebut sungguh sangat tidak idealis karena sudah cukup dengan pembinaan lingkungan sekolah sehat melalui pembinaan lingkungan fisik dengan memberlakukan Kawasan Tanpa Rokok di sekolah dan tempat anak bermain, dimana Kawasan tanpa rokok merupakan ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan menjual, memproduksi, mengiklankan di dalam maupun luar ruang, dan mempromosikan produk tembakau dan rokok elektronik, sehingga kios ataupun warung didekat sekolah ataupun tempat anak bermain bisa diatur dengan tidak melakukan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau dan rokok elektronik serta menjualnya dibelakang kasir dan dengan meminta identitas pembeli.

Sehingga kebijakan Perda KTR DKI Jakarta saat ini perlu lebih memiliki Relaksasi kebijakan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) adalah penyesuaian aturan KTR yang bertujuan memfasilitasi keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sambil tetap melindungi kesehatan masyarakat, terutama generasi muda. Penyesuaian ini fokus pada penyeimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan kebutuhan ekonomi UMKM.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *