Category: OPINI

  • MENILIK RAPERDA KAWASAN TANPA ROKOK MELARANG ASAP ROKOK TANPA ARAH, MEMATIKAN API EKONOMI RAKYAT KECIL

    MENILIK RAPERDA KAWASAN TANPA ROKOK MELARANG ASAP ROKOK TANPA ARAH, MEMATIKAN API EKONOMI RAKYAT KECIL

    MENILIK RAPERDA KAWASAN TANPA ROKOK
    MELARANG ASAP ROKOK TANPA ARAH, MEMATIKAN API EKONOMI RAKYAT KECIL

     

    Oleh: Hotman Auditua S,S.E.,M.E.,BKP
    (Ketua DPP Asosiasi Pedagang Kaki Lima Indonesia Perjuangan (APKLI-P)

     

    TAK KENAL, MAKA TAK SAYANG

    Sebelum kita ulas tentang RAPERDA Kawasan Tanpa Rokok yang sedang berlangsung prosesnya, kita kenali dulu apa itu Kawasan Tanpa Rokok.

    (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.

    Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Indonesia bertujuan melindungi masyarakat, terutama perokok pasif, dari bahaya asap rokok dan menciptakan lingkungan sehat, mewujudkan kualitas udara yang sehat dan bersih, bebas dari asap rokok melalui larangan merokok di fasilitas kesehatan, tempat belajar, tempat ibadah, tempat kerja, tempat umum, dan area lainnya yang ditetapkan.

    Kebijakan ini diatur dalam undang-undang dan peraturan daerah, serta didukung dengan penegakan aturan dan penyediaan area khusus merokok (smoking area) di tempat-tempat tertentu.

    Kondisi Pro dan kontra atas Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR) DKI Jakarta saat ini sedang memanas dikalangan para pedagang warung, lapak PKL, UMKM, dan toko di pasar tradisional.

    Faktanya didalam pasal yang menyatakan pelarangan penjualan produk rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, kebijakan tersebut tidak salah karena kita paham sekolah adalah tempat proses belajar mengajar, adalah sarana yang digunakan untuk kegiatan belajar, mengajar, pendidikan atau pelatihan, dan tempat bermain anak adalah area baik tertutup maupun terbuka yang digunakan untuk kegiatan bermain anak-anak.

    Kebijakan Rancangan Perda KTR juga harus melihat dampaknya bagi keberlangsungan ekonomi usaha rakyat kecil seperti kios-kios atau warung didekat sekolah atau tempat bermain anak yang mana mereka sudah berjualan rokok sejak lama sebelum kebijakan tersebut keluar.
    Kita paham keburukan dari asap rokok bagi kesehatan baik itu perokok pasif maupun aktif, namun apakah sesederhana itu kebijakan tersebut dibuat? Tentu tidak, karena sebuah kebijakan seharusnya tidak hanya mengacu pada satu solusi tunggal dan mengesampingkan kepentingan lainnya seperti ekonomi usaha rakyat kecil.

    Rancangan tersebut mulai menuai penolakan dari sejumlah pihak seperti Asosiasi Pedagang Kaki Lima Perjuangan (APKLI-P), Komunitas Warung Tegal Nusantara (Kowantara), Warteg Merah Putih (Kowamart), Paguyuban Pedagang Warteg serta Kakilima Jakarta (Pandawakarta) yang telah menandatangani deklarasi bersama penolakan atas Raperda KTR di DKI Jakarta.

    Bagi mereka, jika kebijakan ini disahkan, akan mematikan usaha mereka yang selama ini menghidupi keluarga mereka. Kebijakan publik memang suatu yang kompleks, namun kajian yang tepat perlu dilakukan agar mendapatkan titik tengah paling ideal atas solusi yang menguntungkan bagi kesehatan lingkungan dan kesehatan ekonomi usaha kecil.

    Jadi, sebuah kebijakan publik tentunya harus terhindar dari anggapan “melarang asap tanpa arah, padam pula dapur yang bergantung padanya”

    Menurut William N. Dunn (2013), kebijakan publik adalah serangkaian alternatif tindakan yang saling berkaitan dan dirumuskan oleh aktor-aktor yang memiliki kepentingan atau kewenangan dalam pemerintahan, seperti pejabat publik, lembaga negara, dan kelompok masyarakat.

    Bagi Dunn (2013) kebijakan publik bukan sekadar keputusan tunggal, melainkan bagian dari sistem yang melibatkan tiga elemen utama yaitu Public Policy (Kebijakan Publik), Policy Stakeholders (Pelaku Kebijakan), dan Policy Environment (Lingkungan Kebijakan). Tiga elemen tersebut bisa menjadi kerangka dalam melihat posisi Raperda KTR DKI Jakarta untuk kepentingan seluruh kalangan masyarakat luas.

    KEBIJAKAN PUBLIK YANG BAIK DATANG DARI PEMAHAMAN UTUH, BUKAN DARI SATU SISI

    Kebijakan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok/KTR Bisa Jadi Sebuah Pemaksaan Kepentingan Sepihak.

    Dunn (2013) menjelaskan bahwa kebijakan publik juga tidak lepas dari pertimbangan pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Semua stakeholders perlu menjadi fokus dari pembuat kebijakan (policy makers).

    Pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan bagaimana pelaksana kebijakan (implementers) tidak bias dalam menafsirkan Perda KTR yang dibuat. Perda KTR tidak boleh bias dengan pasal yang mendetail sehingga tidak memicu resistensi dari masyarakat.

    Perda KTR juga harus memudahkan pelaksana agar tidak menjalankan larangan menyeluruh di ruang publik, terutama jika tidak disertai edukasi dan ruang kompromi seperti zona merokok.

    Selain itu overregulasi yang berpotensi menciptakan konflik antara aparat dan warga, serta memperbesar biaya pengawasan juga harus menjadi fokus sebelum Perda ini disahkan.
    Pembuat kebijakan juga wajib mempertimbangkan kelompok sasaran (target groups) yang nantinya menjalankan dan menerima dampak dari kebijakan tersebut terutama masyarakat perokok dan pedagang kecil.

    Pembuat kebijakan tidak boleh hanya berfokus pada pertimbangan dasar Raperda KTR untuk menciptakan udara bersih dan sehat di ruang publik tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat lainnya khususnya para pedagang kecil yang pastinya terdampak langsung Perda yang terkesan dipaksakan.

    “DI MANA BUMI DIPIJAK, DI SITU LANGIT DIJUNJUNG”

    Melindungi Masyarakat Ekonomi Pedagang Kecil, Menjaga Stabilitas Ekonomi Masyarakat DKI Jakarta

    Kebijakan Perda KTR yang sedang disusun perlu menjaga keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi lokal, khususnya bagi pelaku usaha kecil dan sektor informal.

    Beberapa kebijakan RaPerda KTR yang mengganggu stabilitas ekonomi UMKM, ada beberapa point yang menuliskan :

    • Larangan menjual Rokok berlaku dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan Tempat Anak Bermain.

    • Larangan menjual dan membeli Rokok dikecualikan untuk Tempat Umum yang memiliki izin untuk menjual Rokok.

    • Tempat umum seperti pasar modern, pasar tradisional. restoran atau rumah makan masuk sebagai Kawasan Tanpa Rokok

    Faktor ekonomi tentu sangat terdampak ketika Raperda KTR ini disahkan, sekitar 1,1 juta pedagang kecil, warung kelontong, asongan, PKL, dan UMKM lainnya akan mendapat kerugian langsung dengan adanya butir pasal 17 pada Raperda KTR yang mengatur pelarangan menjual rokok. Selain itu, sektor informal seperti warung, kafe, dan tempat hiburan bisa mengalami penurunan pendapatan jika pelanggan perokok merasa tidak nyaman.

    Pada konteks ini. Raperda KTR seharusnya tidak boleh mengatur pelarangan menjual rokok, melainkan harus memfokuskan pada aturan penciptaan kawasan tertentu tanpa asap rokok.

    Kemudian dari faktor sosial, adanya pasal pelarangan penjualan rokok radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta kewajiban pengelola yang tidak melakukan pengawasan internal, pembiaran merokok dan tidak memasang tanda larangan merokok di KTR dapat dikenai denda Rp 50 juta bisa menimbulkan masalah sosial baru.

    Kekhawatiran atas konflik pengawas/pelaksana dengan masyarakat sangat besar, ditambah adanya potensi pungutan liar atas denda yang ditetapkan bisa menjadi efek negatif lanjutan dari Perda KTR yang “dipaksakan”.

    Selain itu, jika Perda ini disahkan dalam waktu dekat, implementasi dilapangan akan berpotensi menimbulkan masalah, salah satunya banyak kebijakan KTR yang gagal karena tidak menyediakan ruang merokok yang layak dan terpisah, sehingga perokok tetap merokok sembarangan. Tanpa zona transisi, pelaksana di lapangan bisa saja menjalankan pelarangan total yang bisa kontraproduktif terhadap kelompok masyarakat perokok dan pedagang.

    Jadi bisa dikatakan, jalan panjang harus ditempuh jika pada akhirnya harus melahirkan kebijakan yang mengatur bagaimana masyarakat merokok di tempat umum.

    Untuk saat ini Raperda KTR masih jauh dari ideal, jangan sampai pengesahan atas dasar kesehatan masyarakat malah “menghapus” banyak hal positif lainnya seperti perputaran ekonomi masyarakat.

    Jangan sampai, hanya karena takut asap yang tidak sehat, kita mematikan api ekonomi masyarakat kecil.

    “JANGAN MENGGALI LUBANG SEBELUM SIAP”

    Pertimbangkan Kembali Isi Kebijakan Perda KTR DKI Jakarta Agar Memberi Dampak Positif

    Bagi Pelaku Ekonomi Menengah Kebawah
    Rokok adalah produk legal, maka fokus dalam kebijakan Kawasan Tanpa Rokok dibuat secara realistis dan kita paham dampak negatif rokok, maka pengaturan bisa dilakukan dengan membatasi penjualan untuk anak di bawah umur atau meletakkan display rokok di belakang kasir.

    Menurut Dunn (2013), kebijakan publik adalah hal yang kompleks karena melibatkan banyak dimensi yang saling berinteraksi dan tidak bisa disederhanakan menjadi satu keputusan tunggal. Banyak dimensi yang terkait, aktor yang terlibat serta ketidakpastian serta lingkungan yang selalu dinamis.

    Jika dilihat dari permasalahan isu sosial masalah merokok di tempat umum, pro dan kontra tidak pernah lepas dari dampak kesehatan bagi perokok pasif dan hak bagi mereka yang merokok. Walaupun detail pasal yang tengah dibahas belum final, namun masalahnya tentu tidak hanya sebatas pro dan kontra tersebut.

    Lebih lanjut, Pemerintah Provinsi melalui
    Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung menyebut Raperda ini bertujuan untuk membatasi perokok di tempat publik demi kesehatan masyarakat, bukan melarang total merokok di Jakarta.

    Namun pernyataan tersebut bisa saja menjadi kontraproduktif karena adanya konteks perluasan definisi kawasan tanpa rokok dalam Raperda KTR yang tidak sesuai dengan amanah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, didalam PP tersebut pada pasal 443 dituliskan bahwa Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok.

    Sehingga bagi tempat umum seperti yang tertulis di Raperda KTR yaitu pasar modern, pasar tradisional, hotel atau tempat penginapan, apartemen/rusun,restoran atau rumah makan, tempat rekreasi atau tempat hiburan, halte, terminal, stasiun, pelabuhan, dan bandar udara, balai pertemuan dan Tempat Umum lainnya, maka solusinya adalah mereka WAJIB menyediakan tempat khusus untuk merokok berupa merupakan ruang terbuka, terpisah dari bangunan utama, jauh dari lalu lalang orang, dan jauh dari pintu keluar masuk, namun didalam RaPerda KTR pada pasal 17 ayat 3 disebutkan bahwa Larangan menjual dan membeli Rokok dikecualikan untuk Tempat Umum yang memiliki izin untuk menjual Rokok.

    Begitu juga dengan Larangan menjual Rokok berlaku dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan Tempat Anak Bermain. Kebijakan tersebut sungguh sangat tidak idealis karena sudah cukup dengan pembinaan lingkungan sekolah sehat melalui pembinaan lingkungan fisik dengan memberlakukan Kawasan Tanpa Rokok di sekolah dan tempat anak bermain, dimana Kawasan tanpa rokok merupakan ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan menjual, memproduksi, mengiklankan di dalam maupun luar ruang, dan mempromosikan produk tembakau dan rokok elektronik, sehingga kios ataupun warung didekat sekolah ataupun tempat anak bermain bisa diatur dengan tidak melakukan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau dan rokok elektronik serta menjualnya dibelakang kasir dan dengan meminta identitas pembeli.

    Sehingga kebijakan Perda KTR DKI Jakarta saat ini perlu lebih memiliki Relaksasi kebijakan KTR (Kawasan Tanpa Rokok) adalah penyesuaian aturan KTR yang bertujuan memfasilitasi keberlangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sambil tetap melindungi kesehatan masyarakat, terutama generasi muda. Penyesuaian ini fokus pada penyeimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan kebutuhan ekonomi UMKM.

  • Dana Parkiran akan Jadi Mesin atau Ilusi Fiskal

    Dana Parkiran akan Jadi Mesin atau Ilusi Fiskal

    Dana Parkiran akan Jadi Mesin atau Ilusi Fiskal

     

    Penulis : Jeannie Latumahina
    Ketua Umum RPA INDONESIA

     

    Jangan sampai rakyat dengar kabar triliunan digelontor, tetapi jalan depan rumah tetap saja berlubang.

    Pemerintah akhirnya melalui Mentri Keuangan baru, akhirnya mengambil langkah cukup berani. Langsung menggunakan dana parkir negara di Bank Indonesia untuk dipindah ke bank-bank nasional. Nilainya juga tidak main-main, sebesar Rp200 triliun, bisa disebut sebesar lebih kurang 47% dari total dana parkir sebesar Rp425 triliun.

    Dan masih ditambah lagi dengan dana percepatan transfer ke daerah, maka kebijakan ini menjadi suntikan segar bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang sedang galau mencari momentum baru.

    Langkah ini sangat logis, yaitu daripada uang negara yang selama ini “bobo manis” di rekening BI kenapa tidak dialirkan saja menggerakkan kredit, memperluas dana pembiayaan, sekaligus mendorong belanja daerah. Namun seringkali namanya kebijakan besar yang menyangkut hajat hidup banyak orang, akibat maraknya perilaku koruptif berakibat muncul pertanyaan, apa benar dana ini sungguh bekerja sebagai mesin ekonomi? Atau malah justru justru pindah tempat parkiran, sehingga tidak memberi dampak positif di lapangan?

    *Godaan Janji Manis*

    Narasi resmi yang sedang dibangun pemerintah terdengar sangat menjanjikan. Yaitu likuiditas lebih longgar sehingga menurunkan tekanan suku bunga. Dengan demikian biaya pinjaman diharapkan bisa lebih murah. UMKM, petani, dan pelaku industri kecil yang selama ini kesulitan bernafas mengakses modal bisa lega mendapatkan ruang gerak baru. Maka daerah dengan mendapat tambahan transfer dana, juga bisa mempercepat belanja publik, seperti percepatan infrastruktur dasar hingga banyak program layanan sosial masyarakat.

    Secara teori mengatakan bahwa uang berputar lebih cepat memang akan menambah denyut gerak ekonomi. Terlebih di atas kertas, sangat masuk akal uang Rp200 triliun yang parkir mengendap kini dialirkan ke sektor riil. Sehingga multiplier effect, uang akan dilipatganda dalam aktivitas ekonomi, jelas ini juga akan bisa membuka lapangan kerja, serta menambah daya beli masyarakat.

    Oleh karena itu semua pihak langsung sepakat, bahwa lebih baik dana mengalir di masyarakat daripada berdiam parkir di BI. Tetapi ingat juga yang sering terjadi, yaitu kesenjangan antara teori dan realitas bisa sangat lebar, seperti peribahasa jauh panggang dari api.

    *Risiko di Tikungan*

    Kebijakan yang cukup baik ini bukan tanpa bayangan risiko. Bagaimana bila bank penerima dana tambahan tersebut malah memilih play safe dengan tidak menyalurkannya ke kredit produktif. Dimana kemudian bank tersebut memilih menaruh dana parkir dari BI kepada instrumen pasar uang atau obligasi negara, yang lebih mudah dan pasti keuntungannya, ketimbang harus bekerja keras memberi kredit ke petani atau pengusaha kecil yang dianggap lebih berisiko. Maka dengan demikian yang terjadi, dana dari BI yang Rp200 triliun hanya berpindah tempat parkir dari satu instrumen ke instrumen parkir lain.

    Selanjutnya atas dasar pengalaman selama ini telah menunjukkan bahwa banyak pemerintah daerah, sangat lambat dalam menyerap anggaran karena kwalitas SDM atau tidak mampu melihat peluang pada UMKM, sehingga alih-alih kredit diterima segera digunakan untuk membiayai pengembangan daerah, malah dana transfer kerap juga mengendap di kas daerah atau malah diputarkan di deposito perbankan daerah. Sehingga jelas akibatnya, belanja publik yang diharapkan mendorong pertumbuhan justru tersendat.

    Kemudian terdapat naiknya risiko inflasi lokal. Jika belanja daerah secara tiba-tiba meningkat tanpa diimbangi pasokan barang dan jasa yang memadai, yang malah akan memicu kenaikan harga. Uang beredar memang bertambah, tetapi daya beli riil masyarakat justru tergerus.

    Yang keempat, belum terdapat koordinasi antar-otoritas yang akan menjadi penentu. Yaitu antara BI, Kemenkeu, dan OJK dimana seharusnya mampu berjalan seiring. Jika terlalu longgar, likuiditas berlebih bisa memicu gelembung harga. Jika terlalu ketat, niat baik kebijakan ini sangat bisa mandek di tengah jalan.

    Singkatnya, tidak ada jaminan uang yang dipindahkan dari Bank Indonesia akan otomatis berubah menjadi mesin pertumbuhan.

    *Di Ujung Tikungan Pertaruhan*

    Kebijakan ini bisa dibaratkan taruhan besar. Pemerintah tentu bisa saja dikenang karena berhasil mengubah dana pasif menjadi motor penggerak ekonomi. Tetapi ingat ada bahaya risiko, kebijakan bagus ini kemudian hanya menjadi eksperimen fiskal lain yang berakhir tanpa hasil signifikan.

    Maka kuncinya terletak pada keberanian untuk mengambil langkah tegas. Pemerintah harus benar menetapkan target keras, seperti berapa persen dana bank nasional yang harus benar-benar masuk ke kredit produktif, dan kedalam sektor apa saja, serta dalam jangka waktu berapa lama. Tanpa adanya target yang jelas, maka bank penerima Dana Parkir dari BI akan lebih memilih jalur aman, sementara publik hanya disuguhi angka fantastis yang tak pernah turun ke lapangan.

    Demikian juga dari sisi transparansi masih ada potensi krusial. Oleh sebab itu masyarakat berhak untuk tahu, ada berapa persen dari dana Rp200 triliun itu yang benar-benar disalurkan, juga akan seberapa cepat daerah mampu mempergunakannya, dan sejauh mana dampaknya pada harga pangan, jumlah serapan tenaga kerja, maupun daya beli lokal. Jika berjalan tanpa indikator yang transparan, kebijakan ini hanya akan menghasilkan headline, bukan perubahan nyata.

    Pada akhirnya yang menjadi pertanyaan terpenting bukanlah berapa besar dana yang digelontorkan, tetapi apakah uang itu benar-benar memberi napas baru bagi ekonomi rakyat. Apakah petani akan lebih mudah mendapat modal mengadakan pupuk, seberapa mampu UMKM bisa menambah kapasitas produksi, hingga tukang bengkel bisa membeli dan melengkapi peralatan baru, atau seberapa banyak warung kopi bisa memperluas usahanya? Ataukah kebijakan baru ini jangan-jangan, membuat uang digelontor hanya berputar pada neraca bank dan pada laporan sebatas keuangan pemerintah, yang masih jauh dari denyut pasar dan kebutuhan rakyat?

    Jika dana parkir ini benar dan sungguh mampu disulap menjadi mesin ekonomi, sejarah akan mencatatnya sebagai langkah berani yang berbuah manis. Tetapi jika tidak mampu, akan dikenang sebagai kebijakan ilusi fiskal belaka, dimana kebijakan besar yang ramai di atas kertas, tetapi hampa di lapangan.

    Sabtu, 20 September 2025

  • Wartawan Semu dan Dewan Pers yang Merana: Mengejar Jurnalistik Sejati

    Wartawan Semu dan Dewan Pers yang Merana: Mengejar Jurnalistik Sejati

    Jakarta Metropolitanpost.id – Sebagai seorang warga negara yang juga berprofesi sebagai jurnalis senior nasional dan Ketua Umum Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), saya merasa terpanggil untuk menyampaikan kritik tajam terhadap fenomena yang semakin merusak marwah pers Indonesia. Kritik ini ditujukan kepada insan-insan yang mengaku sebagai pers, tetapi tidak pernah mampu menulis berita secara layak, serta kepada Dewan Pers yang gagal menjalankan amanahnya. Tulisan edukasi akademis ini terinspirasi oleh pernyataan-pernyataan retoris yang mencerminkan kegelisahan terhadap kondisi pers saat ini, yang kemudian saya olah untuk menegaskan kaidah-kaidah kode etik jurnalistik, menjaga keseimbangan antara pondasi undang-undang dengan realitas lapangan, serta mengawal peran pers sebagai kontrol sosial di tengah berbagai tantangan seperti politik, ekonomi, keamanan, kesejahteraan, kesenjangan sosial, korupsi, birokrasi menyimpang, kriminalitas, geopolitik, pengaruh luar negeri, dan isu lingkungan.

    Wartawan : Pilar Demokrasi yang Mulai Runtuh

    Profesi wartawan di Indonesia adalah amanah besar yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini memberi ruang kemerdekaan, perlindungan hukum, dan mengokohkan pers sebagai pilar keempat demokrasi. Wartawan yang profesional diharapkan mampu menjadi penegak kebenaran, menyampaikan informasi yang akurat, dan cerdas mengawal transparansi serta akuntabilitas publik.

    Namun, amanah undang-undang itu tidak berjalan mulus. Kaidah Kode Etik Jurnalistik yang menuntut kebenaran, keadilan, dan independensi seringkali hanya tinggal teks, sementara praktik di lapangan memperlihatkan jurang antara ideal dan realita. Wartawan sering menghadapi tekanan dan konsekuensi dalam menjalankan tugasnya, terutama ketika meliput isu-isu sensitif atau mengkritisi kebijakan pejabat. Mereka harus mampu menjaga independensi dan integritas agar tidak menjadi corong bagi pihak-pihak tertentu yang ingin mempengaruhi jurnalistik dalam membuat karya berita. Selain itu, wartawan juga harus mengedepankan kebenaran dan profesionalisme dalam setiap karya tulisnya.

    Kunci utamanya adalah wartawan yang profesional harus berpegang pada kode etik jurnalistik yang menekankan kebenaran, keadilan, dan independensi. Profesi wartawan membutuhkan keberanian untuk menyampaikan kebenaran meskipun sering menghadapi banyak tantangan. Dengan menjalankan tugas jurnalistik yang sesungguhnya, sebagai tugas mulia dan pilar negara, wartawan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat dan demokrasi.

    Sebagai jurnalis, saya tegas menyatakan bahwa kaidah-kaidah kode etik dan kepatutan dalam menjalankan perintah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 harus dijunjung tinggi sebagai pondasi berpikir. Kedua, seorang wartawan harus mampu menjaga keseimbangan antara pondasi berpikir tersebut dengan realitas dan implementasi sehari-hari, termasuk dalam menjalankan tugas jurnalistik itu sendiri. Ini mencakup menjalankan peran dan fungsi kita sebagai insan praktisi media yang memang memiliki fungsi kontrol sosial, serta bagaimana melihat persoalan-persoalan di lapangan yang sangat luas—ada faktor politik, ekonomi, keamanan, kesejahteraan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perilaku korupsi, perilaku menyimpang dari birokrasi, kriminalitas masyarakat, hingga menganalisis perkembangan geopolitik, pengaruh politik luar negeri, pengaruh negara asing terhadap nasional, dan isu lingkungan. Semua itu menjadi bagian dari kerangka berpikir yang harus dilihat dan dijalankan secara seimbang.

    Jurnalis Sejati: Karya atau Sekadar Kartu Pers?

    Wartawan sejati adalah mereka yang mampu menulis, melahirkan karya, dan mengawal kepentingan publik. Entah dalam bentuk artikel, laporan investigasi, siaran televisi, radio, hingga platform digital, jurnalis dinilai dari karya tulisnya, bukan dari kartu pers yang digantung di leher. Seorang jurnalis layak disebut jurnalis ketika sudah mampu mengembangkan dan menyusun hasil liputan menjadi sebuah karya tulis yang disebut artikel berita—baik dituangkan dalam surat kabar, media digital, atau online. Banyak juga jurnalis yang mengembangkan dan merangkai kerangka liputannya dalam bentuk video, siaran televisi, radio, bahkan sekarang berkembang seiring perkembangan teknologi.

    Kita ini jurnalis di mana dan apa saja tulisan kita? Apa saja branding dan spesialisasi kita? Ketika hanya melihat secara gambaran umum, ikut-ikutan menyebut tanpa menyasar satu segmen yang jelas, maka itu yang dimaksud dengan wartawan yang hilang jati dirinya. Ini tidak layak disebut seorang wartawan; ini hanyalah orang yang mengatasnamakan profesinya sebagai wartawan, tapi praktiknya adalah perusak dunia kewartawanan dan dunia pers itu sendiri.

    Sayangnya, banyak yang sekadar mengaku wartawan, namun tanpa karya. “Pers abal-abal” ini lebih sibuk berburu amplop ketimbang berburu kebenaran. Fenomena “pers amplop” adalah racun yang merusak marwah jurnalistik, mengkhianati publik, dan mencemari nama pers sebagai kontrol sosial. Banyak wartawan tanpa karya tulis; jangankan menulis 10 paragraf, untuk 4 paragraf secara baik dan rapi pun banyak wartawan yang tidak mampu—bukan karena tidak mampu, tapi karena tidak mau belajar. Inilah yang sering dikategorikan sebagai wartawan pinggiran, bahkan ada yang sekadar bertanya-tanya tanpa menghasilkan karya.

    Dewan Pers: Lembaga yang Kehilangan Taji

    Sejak reformasi, Dewan Pers dibentuk untuk mengawal kemerdekaan pers. Namun kenyataannya, kepemimpinan silih berganti, wajah berbeda, hasil tetap nihil. Mereka hadir bak sawah yang penuh ilalang: tidak terurus, tidak bertuan, dan tidak menghasilkan panen apa-apa. Gelar akademik, status profesor, atau nama besar tokoh nasional yang melekat pada kursi Ketua Dewan Pers, tidak pernah berbanding lurus dengan terobosan pembaruan pers.

    Alih-alih memberdayakan wartawan, Dewan Pers sibuk dengan barcode, verifikasi sepihak, dan perlakuan diskriminatif. Kritik keras sempat memuncak pada aksi penyegelan kantor Dewan Pers tahun 2017, yang menuntut agar lembaga ini tidak lagi hanya melayani kelompoknya sendiri dan berani membuka ruang pembaruan regulasi.

    Ketua Dewan Pers dari Masa ke Masa:

    1. Atmakusumah Astraatmadja (2000–2003)
    2. Sabam Leo Batubara (2003–2006)
    3. Ichlasul Amal (2006–2010)
    4. Bagir Manan (2010–2016)
    5. Josef Adi Prasetyo (2016–2019)
    6. Muhammad Nuh (2019–2022)
    7. Ninik Rahayu (2022–2025)
    8. Prof. Komaruddin Hidayat (2025–2028), (Mantan Rektor UIN)

    Pergantian demi pergantian ini hanya mengukuhkan ironi: ketua silih berganti, tapi wajah pers Indonesia tetap gelap tanpa arah. Bahkan kini, di bawah kepemimpinan seorang profesor mantan rektor UIN, publik bertanya—apakah akan ada terobosan nyata, atau sekadar melanjutkan pola lama: banyak janji, nihil karya?

    Mengapa Dewan Pers tidak membuat terobosan baru perubahan tentang Pers? Misalnya, seluruh organisasi profesi Pers seharusnya dapat dihimpun menjadi satu tujuan dalam melindungi kinerja profesi jurnalistik, bukan? Untuk apa hanya Dewan Pers yang disuntuni pemerintah padahal tidak punya kemampuan untuk mensejahterakan wartawan dan perusahaan pers? Apakah profesi pers hanya diperalat Dewan Pers untuk memperoleh santunan dari pemerintah saja? Sangat disayangkan, para wartawan selalu patuh pada aturan Dewan Pers, apalagi secara implisit hanya berpihak pada organisasi peliharaannya saja.

    Bandingkan dengan profesi lain:

    Advokat didasarkan pada UU Nomor 18 Tahun 2003, Polri pada UU Nomor 2 Tahun 2002, TNI pada UU Nomor 34 Tahun 2004 (diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2025). Mengapa wartawan tidak memiliki syarat ketat serupa?

    Membandingkan dengan Dunia Internasional :

    – Inggris: Press Council memiliki mekanisme pengaduan publik yang terbuka dan tegas.
    – Afrika Selatan: Press Ombudsman cepat, sederhana, dan benar-benar menjadi jembatan antara media dan masyarakat.
    – Australia: Komisi pengaduan pers memberi sanksi moral yang berat pada media pelanggar.

    Di Indonesia? Dewan Pers justru sibuk mengurus legitimasi formal, sementara kesejahteraan wartawan dibiarkan tercecer.

    Jalan Pembaruan: Seleksi Jurnalis dan Tugas Dewan Pers

    Profesi lain memiliki syarat ketat: TNI melalui seleksi berat, advokat harus lulus ujian profesi, dokter wajib punya izin praktik. Mengapa wartawan tidak? Tidak semua orang yang membawa kartu pers layak disebut wartawan. Dewan Pers semestinya:

    – Menyusun seleksi terukur bagi jurnalis.
    – Membina dan mengawasi media agar tidak jadi alat pemerasan.
    – Memperjuangkan kesejahteraan wartawan, bukan sekadar status kelembagaan.
    – Membuat terobosan regulasi baru yang relevan dengan era digital.

    Akhir Kata dan Refleksi, 

    Profesi wartawan adalah profesi keberanian. Berani menulis, berani mengungkap, berani melawan arus demi kebenaran. Tetapi selama Dewan Pers hanya menjadi ladang ilalang tanpa tuan, pers Indonesia akan terus mati suri— dipenuhi wajah pejabat yang silih berganti, tanpa pernah meninggalkan karya pembaruan. Apakah Dewan Pers dengan ketua barunya, Prof. Komaruddin Hidayat, akan berani menyalakan obor perubahan, atau hanya akan menambah daftar panjang ketua tanpa karya?

    Salam Keadilan,Salam Jurnalis!

    🇮🇩✍️🇮🇩

    Narsum : Obor Panjaitan, Jurnalis Nasional, Ketua Ikatan Pers Anti Rasuah ( IPAR ) 

    Editor : JOE

  • Pekerja Migran Indonesia: Antara Harapan Perjuangan, Risiko Trafficking, dan Tuntutan Memperbaiki Lapangan Kerja

    Pekerja Migran Indonesia: Antara Harapan Perjuangan, Risiko Trafficking, dan Tuntutan Memperbaiki Lapangan Kerja

    Pekerja Migran Indonesia: Antara Harapan Perjuangan, Risiko Trafficking, dan Tuntutan Memperbaiki Lapangan Kerja

     

    Oleh Jeannie Latumahina
    Ketua Umum Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Indonesia

     

    Menjelang perayaan kemerdekaan Republik Indonesia, kita menatap lebih jujur dan mendalam tentang kisah nyata yang dihadapi para Pekerja Migran Indonesia (PMI). Tahukah ada terdapat 297 ribu orang yang meninggalkan tanah air pada 2024–2025, mereka jelas bukan karena semata ingin “kabur”, melainkan karena hidupnya semakin terdesak oleh kemiskinan, akibat minimnya lapangan kerja yang bermartabat, dan kesempatan yang sangat terbatas di negeri sendiri.

    Mereka Pekerja Migran Indonesia yang mengirimkan penghasilan berupa uang secara rutin kepada keluarganya, yang dikenal dengan istilah *remitansi*, yaitu dana vital yang dipakai sebagai kebutuhan sehari-hari seperti keperluan makan, sekolah, dan perbaikan rumah. Besaran nilainya juga fantastis, mencapai lebih dari Rp 253 triliun dalam setahun, menjadi denyut kehidupan dan juga memiliki pengaruh ekonomi yang besar bagi Indonesia.

    Namun dibalik keberhasilan serta pengorbanan ini, terpampang wajah suram yang tak boleh kita abaikan begitu saja. Di sepanjang 2025, tercatat sebanyak 281 kasus perdagangan manusia (trafficking) dengan 404 korban telah berhasil diselamatkan, adapun mayoritas adalah perempuan dewasa yang mengalami eksploitasi kerja paksa, kekerasan fisik dan psikologis, serta tindak pelecehan seksual. Kemudian ada lebih dari 6.800 Warga Negara Indonesia yang akhirnya berhasil dipulangkan dari modus kerja ilegal, bahkan ada yang terjebak di wilayah konflik seperti Myanmar, mendapat perlakuan keji dan trauma mendalam. Dari Kalimantan Utara misalnya, ada ratusan calon PMI akhirnya bisa diselamatkan dari jalur penyaluran ilegal yang menyebabkan kerugian berat dan juga penderitaan yang tak terbayangkan.

    Ini adalah gambaran nyata betapa sungguh rentannya rakyat kecil, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah miskin dan menjadi terlupakan seperti Jawa Barat, Kalimantan Utara, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Utara. Dalam situasi penuh keputusasaan, maka janji manis dari makelar gelap yang menawarkan pekerjaan dan penghasilan besar di luar negeri bagaikan jebakan maut yang bisa menghancurkan harapan dan martabat manusia.

    Para PMI korban trafficking lebih dari sekadar data statistik, mereka ini saudara sebangsa yang terluka dan menunggu datangnya keadilan serta perlindungan.

    Kondisi ini menjadi cerminan tajam kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja yang layak dan bermartabat bagi rakyatnya. Dari data terbaru Februari 2025 mencatatkan pengangguran mencapai 7,28 juta orang (4,76%), terutama di kalangan usia muda dan lulusan SMK. Ditambah lagi adanya puluhan ribu orang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), memperparah situasi sulit untuk memperoleh pekerjaan yang menjamin kesejahteraan. Kondisi ini jelas memaksa banyak dari mereka kemudian mencari pekerjaan di luar negeri dengan risiko besar.

    Pemerintah memang telah berusaha keras melalui berbagai badan, seperti BP2MI, Kementerian Ketenagakerjaan, serta perwakilan diplomatik, bekerja mengawasi semua penempatan, dan mensosialisasikan, serta menekan keras praktik ilegal dan melindungi PMI korban trafficking. Namun, kerja nyata tak akan benar-benar komplet tanpa peran dari adanya lembaga swadaya masyarakat dan komunitas kemanusiaan, mereka adalah pahlawan sunnah yang berdiri di garda terdepan dan berani memberikan advokasi hukum, pendampingan psikososial, dan perlindungan sosial. Organisasi seperti Migrant Care, Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Indonesia, Indonesia One, Bintang Bumi Indonesia ( BBI), Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), PADMA Indonesia, Yayasan Kesejahteraan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (YKPMI), serta komunitas lokal Desbumi, bisa disebut sebagai pahlawan kemanusiaan yang kali ini wajib kita beri apresiasi setinggi-tingginya.

    Dan semangat kemerdekaan mengajarkan kita bahwa kebebasan sesungguhnya bukan hanya soal bebas dari penjajahan, tapi juga harus mampu bebas dari kemiskinan, ketidakadilan, dan segala bentuk perbudakan modern. Baiklah selalu mampu memastikan lapangan kerja yang bermartabat dalam negeri, memperkuat perlindungan serta pendampingan bagi PMI, dan tegas dalam memberantas trafficking adalah bagian dari janji kemerdekaan kita kepada seluruh rakyat.

    Mari jadikan momen ini sebagai panggilan bersama untuk membangun Indonesia yang berdaulat sosial dan ekonomi, menghargai martabat manusia, dan memastikan bahwa para Pekerja Migran Indonesia, terutama mereka yang menjadi korban trafficking harus mendapatkan hak perlindungan mereka secara penuh serta masa depan yang lebih layak dan aman.

    Semoga kado perayaan kemerdekaan ini dapat membawa harapan baru dan perubahan nyata, agar kemerdekaan Indonesia menjadi milik seluruh anak bangsa, tanpa terkecuali.

    Jum’at, 8 Agustus 2025

  • Rekening Dibekukan Melindungi Sistem Keuangan dari Penyalahgunaan

    Rekening Dibekukan Melindungi Sistem Keuangan dari Penyalahgunaan

    Rekening Dibekukan Melindungi Sistem Keuangan dari Penyalahgunaan

     

    Oleh: Jeannie Latumahina
    Ketua Umum RPA Indonesia.

     

    Sebelum membahas lebih jauh, penting terlebih dahulu memahami yang disebut rekening dormant. Rekening dormant adalah rekening bank yang tidak aktif selama jangka waktu tertentu, biasanya dalam durasi tiga bulan atau lebih, tanpa adanya transaksi uang masuk maupun keluar. Banyak rekening dormant ini sebenarnya memang milik nasabah yang sudah tidak menggunakan rekening tersebut, tetapi ada juga rekening yang bisa menjadi “Jalan Gelap” bagi penyalahgunaan, yaitu dijadikan tempat menampung dana ilegal atau uang hasil kejahatan yang berusaha disembunyikan.

    Sejak Mei 2025, PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) Indonesia mengambil langkah penting dengan membekukan rekening dormant tersebut. Langkah ini bukan tanpa alasan, disebabkan adanya banyak temuan yang menunjukkan bahwa rekening tidak aktif ini sering dimanfaatkan oleh oknum, atau orang tidak bertanggung jawab untuk melakukan praktik pencucian uang dan aktivitas ilegal lain yang dapat merusak integritas sistem keuangan nasional.

    Pembekuan rekening dormant dilakukan sebagai upaya tindakan preventif agar dana di rekening yang tampak “diam” tidak lagi disalahgunakan untuk transaksi mencurigakan. Perlu juga diketahui bahwa rekening yang dibekukan sementara, dana yang ada dalam rekening tersebut tetap aman dan bisa diaktifkan kembali oleh nasabah setelah tentu melewati proses verifikasi yang jelas dan transparan.

    Menariknya adalah tidak menutup kemungkinan bahwa rekening dormant tersebut juga merupakan milik para pelaku tindak korupsi yang sedang menjalani hukuman penjara. Jelas selama masa hukumannya, rekening koruptor ini sering kali tidak aktif. Namun, setelah bebas selesai menjalani masa hukuman, para pelaku bisa menggunakan kembali rekening tersebut untuk mengelola atau memindahkan dana yang sebelumnya disembunyikan. Fenomena ini jelas membuka celah lain dalam pengawasan keuangan yang harus didalami dan diantisipasi oleh otoritas agar tidak terjadi penyalahgunaan lebih lanjut lagi.

    Namun juga di sisi lain, pelaku kejahatan keuangan akan terus mencari cara baru untuk menyembunyikan dan mengamankan dana hasil kejahatan mereka. Salah satu cara yang semakin populer adalah penggunaan aset mata uang kripto. Berbeda dengan rekening bank, aset kripto yang ada disimpan di dompet non-kustodian sepenuhnya berada di bawah kendali pemilik yang memegang kunci privatnya. Hal ini tentu membuat pengawasan dan pembekuan oleh otoritas seperti PPATK akan jauh lebih sulit dilakukan.

    Fenomena ini jelas menciptakan tantangan baru. Pemerintah dan otoritas keuangan Indonesia tidak hanya membekukan rekening dormant di perbankan, tetapi juga harus meningkatkan pengawasan terhadap semua platform pertukaran kripto dan transaksi aset digital.

    Pada sejumlah negara maju seperti Kanada, Australia, dan Singapura telah mulai menerapkan regulasi yang ketat untuk memantau serta membatasi tindak penyalahgunaan aset digital dalam rangka memerangi kejahatan keuangan.

    Untuk masyarakat umum, sangat penting untuk menyadari bahwa pembekuan rekening dormant bukan merupakan hambatan tanpa alasan, melainkan upaya perlindungan agar sistem keuangan tetap aman dan dipercaya. Selain daripada itu, perlu kesadaran akan risiko bertransaksi di dunia digital, termasuk penggunaan kripto, juga penting agar masyarakat tidak terlibat secara tidak sengaja dalam praktik ilegal.

    Dilihat secara keseluruhan, pembekuan rekening dormant oleh PPATK sejalan dengan tren global demi pengawasan keuangan modern. Meski jelas bahwa kejahatan juga terus mencari celah, kolaborasi antara otoritas, lembaga keuangan, dan penting masyarakat yang melek finansial adalah kunci utama dalam menjaga keamanan dan kepercayaan yang berkelanjutan pada sistem keuangan nasional.

    Dengan melalui edukasi terus menerus dibarengi pengawasan yang terus diperkuat, kita semua berharap mampu berkontribusi dalam menutup celah-celah kejahatan dan menjaga agar uang yang beredar di masyarakat benar-benar legal dan bersih.

    Data dari PPATK per Juli 2025 menyebutkan ada terdapat lebih dari 140 ribu rekening dormant lebih dari 10 tahun dengan total dana mencapai Rp 428 miliar yang harus diawasi ketat karena potensial menjadi jalur penyalahgunaan, termasuk kasus korupsi yang terkait dengan rekening dormant.

    Kamis, 31 Juli 2025

  • Perspektif Kristen Menghadapi Cancel Culture Dalam Masyarakat Majemuk

    Perspektif Kristen Menghadapi Cancel Culture Dalam Masyarakat Majemuk

    Oleh: Dr. Drs. Roedy Silitonga, M.A., M.Th.
    Universitas Pelita Harapan, roedy.silitonga@uph.edu

    Pendahuluan

    Fenomena cancel culture semakin mengemuka di Indonesia pada tahun 2025, mencerminkan kecenderungan masyarakat untuk menanggapi kesalahan dengan penghukuman publik tanpa memberi ruang untuk pertobatan (Kompasiana, 2025). Cancel culture, menurut Feetra Yulia dalam artikel di RRI, adalah budaya memboikot atau berhenti mendukung seseorang yang dianggap bermasalah (RRI, 2025). Ndoro Kakung menambahkan bahwa di Indonesia, cancel culture sering berfungsi sebagai ruang caci-maki, bukan sebagai ruang koreksi (Kakung, 2025). Fenomena ini memperlihatkan bahwa budaya penghukuman lebih dominan dibandingkan budaya pengampunan, yang justru dapat memperburuk polarisasi sosial dan menghalangi proses rekonsiliasi yang konstruktif. Dalam konteks ini, budaya penghukuman menghambat kesempatan untuk perubahan dan pemulihan yang sejati. Menghadapi dominasi budaya penghukuman, ajaran Yesus Kristus tentang pengampunan menawarkan solusi yang relevan. Sebagaimana tercatat dalam Lukas 7:36–50, kesadaran akan besarnya pengampunan yang diterima akan melahirkan kasih yang besar. Puncaknya terlihat pada peristiwa Jumat Agung, ketika Yesus di kayu salib berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk. 23:34). Perspektif teologi Reformed menegaskan bahwa pengampunan adalah anugerah Allah, yang diwujudkan melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Orang Kristen dipanggil untuk menjadi teladan dalam pengampunan, tidak hanya dalam pengajaran tetapi juga dalam praktek kehidupan sehari-hari. Pengampunan sejati tidak mengabaikan keadilan, namun mengarahkannya pada pemulihan, bukan pembalasan. Dalam dunia yang lebih sering memilih penghukuman, ajaran Yesus Kristus mengundang semua pihak untuk merefleksikan bahwa pengampunan sejati bukan hanya menyelesaikan dosa pribadi, tetapi juga mendamaikan hubungan yang terpecah, memandu masyarakat menuju pemulihan, bukan penghukuman. Kuasa Pengampunan di Tengah Budaya Penghukuman
    Kesalahan dan pelanggaran adalah bagian dari kehidupan manusia. Namun, bagaimana seseorang merespon kesalahan tersebut menunjukkan nilai yang diyakini dan dihidupinya. Dalam Lukas 7:36–50, Yesus mengajarkan bahwa kesadaran akan besarnya pengampunan yang diterima akan melahirkan kasih yang memulihkan. Perumpamaan tentang dua orang yang berhutang mengajarkan bahwa pemahaman tentang kedalaman pengampunan menghasilkan sikap penuh pengorbanan dan belas kasihan. Puncak ajaran ini tercermin dalam peristiwa Jumat Agung, saat Yesus di salib berkata, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk.23:34). Dalam perspektif teologi Reformed, pengampunan adalah anugerah Allah yang tidak diperoleh berdasarkan usaha manusia, tetapi sebagai perwujudan kasih dan keadilan Allah yang ditemukan dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Di era post-truth ini, konsep pengampunan sering kali terpinggirkan oleh dominasi cancel culture yang mengutamakan penghukuman atas kesalahan tanpa memberi ruang untuk rekonsiliasi. Masa lalu seseorang sering kali menjadi dasar untuk penghukuman sosial, tanpa memberi kesempatan bagi seseorang untuk memperbaiki diri. Fenomena ini bertentangan dengan ajaran Kristus, yang menekankan pentingnya pertobatan dan pemulihan. Peristiwa Jumat Agung mengingatkan setiap orang bahwa meskipun dunia lebih condong pada penghukuman, Kristus justru menanggung hukuman dosa demi membuka jalan rekonsiliasi dengan Allah. Timothy Keller dalam bukunya Forgive: Why Should I and How Can I? (2022) menegaskan bahwa dalam masyarakat sekular, keadilan sering dipahami sebagai pembalasan, bukan pemulihan. Sebaliknya, kebangkitan Kristus mengaruniakan harapan baru bahwa melalui Kristus, hidup baru dan pemulihan diberikan kepada siapa yang ditentukan Allah untuk bertobat dan dipulihkan. Sementara itu, Miroslav Volf, dalam Exclusion and Embrace, menegaskan bahwa pengampunan bukan hanya soal menghapus kesalahan, tetapi membuka ruang untuk transformasi (Volf, 1996). Tanpa pengampunan, masyarakat akan terjebak dalam siklus balas dendam yang tak berkesudahan. Peristiwa Jumat Agung secara teologis menunjukkan bahwa Kristus menanggung segala dosa untuk menghentikan siklus tersebut. John Calvin dalam Institutes of the Christian Religion mengajarkan bahwa pengampunan adalah cerminan kasih karunia Allah, yang diberikan bukan berdasarkan kelayakan manusia, tetapi sebagai tindakan kasih yang mengubah hati dan membangun kembali hubungan sosial. Dengan demikian, kebangkitan Kristus memberi jaminan bahwa kuasa dosa telah dikalahkan dan umat dipanggil untuk hidup dalam pengampunan dan rekonsiliasi dengan sesama.

    Pengampunan sebagai Dasar Pembaruan Sosial

    Pengampunan, sebagaimana diajarkan Kristus dan ditegaskan dalam tradisi Reformed, tidak hanya berdampak pada hubungan pribadi, tetapi juga membentuk kehidupan sosial, politik, dan kekristenan. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, pengampunan menawarkan alternatif yang menumbuhkan pertobatan, rekonsiliasi, dan pembaruan. Orang Kristen harus menjadi teladan pengampunan yang aktif, tidak hanya mengajarkan, tetapi juga mewujudkan pengampunan dalam kehidupan sehari-hari. Pengampunan sejati tidak mengabaikan keadilan, tetapi mengarahkannya kepada pemulihan, bukan pembalasan. Seperti yang ditegaskan oleh R.C. Sproul dalam The Holiness of God, pengampunan bukan hanya soal pembebasan dari hukuman, tetapi juga mengembalikan hubungan yang telah rusak antara Allah dan manusia, mengarah pada pemulihan yang lebih dalam dan transformatif (Sproul, 1985). Karena itu, tanpa pengampunan yang berakar pada kasih dan kebenaran Allah, upaya rekonsiliasi sosial akan tetap dangkal dan mudah terjebak dalam siklus ketidakadilan baru. Tim Chester dalam A Meal with Jesus menekankan bahwa pengampunan adalah cara Yesus menghidupkan kembali hubungan manusia, dengan mengundang orang-orang yang berdosa untuk datang kepada-Nya, mengampuni mereka, dan memulihkan mereka dalam komunitas yang penuh kasih (Chester, 2011). Bagi Chester, pengampunan bukan hanya tentang menghilangkan kesalahan, tetapi juga memberi kesempatan bagi pemulihan hubungan dan perubahan hati. Pandangan ini menegaskan bahwa pengampunan, yang mengarah pada rekonsiliasi, adalah elemen penting dalam kehidupan orang Kristen yang mendorong orang untuk hidup dalam komunitas yang penuh dengan kasih dan kebenaran.

    Mewujudkan Budaya Pengampunan dalam Berbagai Aspek Kehidupan

    Pengampunan yang diajarkan Kristus harus diwujudkan dalam setiap aspek kehidupan. Dalam keluarga, pengampunan menjadi dasar bagi hubungan yang sehat. Komunikasi yang terbuka, pengakuan kesalahan, dan kesempatan untuk bertumbuh setelah kegagalan menciptakan suasana yang memfasilitasi penyembuhan dan rekonsiliasi. Keluarga menjadi tempat pertama di mana nilai-nilai ini dipelajari dan diterapkan, membentuk individu yang mampu mengampuni dalam berbagai situasi. Tanpa pembiasaan pengampunan di lingkungan keluarga, individu akan cenderung membawa pola relasi yang rapuh dan penuh dendam ke dalam kehidupan sosial yang lebih luas. Orang Kristen juga memiliki tanggung jawab besar dalam mempraktikkan pengampunan. Tidak cukup hanya mengajarkan pengampunan melalui khotbah, orang Kristen harus membangun sistem yang mendukung rekonsiliasi di antara jemaatnya. Seminar, kelas pembinaan, dan pendampingan pastoral menjadi sarana yang efektif untuk membantu jemaat menghidupi pengampunan dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkungan kerja, penerapan prinsip restorative justice lebih dari sekadar menghindari hukuman, tetapi lebih mengarah pada pemulihan hubungan yang rusak. Ini menciptakan tempat kerja yang tidak hanya produktif tetapi juga membangun karakter. Sebab itu penting memiliki keseriusan membangun budaya pengampunan yang terstruktur. Hal ini diperlukan supaya orang Kristen tidak hanya melahirkan pemahaman teoritis yang tidak mengubah perilaku nyata. Di tingkat masyarakat, penting untuk mengedepankan pengampunan sebagai dasar bagi keharmonisan sosial. Melalui pendidikan publik yang menggalakkan kampanye perdamaian, forum rekonsiliasi, dan literasi emosional, pengampunan bisa menjadi alat untuk mengatasi polarisasi dan kebencian. Di tingkat pribadi, pengampunan harus dihidupi melalui doa, refleksi Alkitabiah, dan konseling Kristen. Dengan cara ini, pengampunan membawa pembaruan dalam kehidupan individu, keluarga, gereja, dan masyarakat secara keseluruhan.

    Kesimpulan

    Pengampunan Kristus memiliki dampak yang luas, tidak hanya pada hubungan pribadi tetapi juga kehidupan sosial, politik, dan kekristenan. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, pengampunan menawarkan alternatif yang memperbaiki hubungan dan mendorong rekonsiliasi. Untuk mewujudkan hal ini, keluarga, lembaga kekristenan, dan masyarakat harus berkomitmen pada praktik pengampunan yang nyata, mulai dari komunikasi terbuka di keluarga hingga program rekonsiliasi di masyarakat plural dan tempat kerja yang mengutamakan pemulihan. Orang Kristen dibutuhkan sebagai teladan dengan mengajarkan pengampunan secara konkret, mendukung sesama melalui pendampingan pastoral dan pembinaan. Di tingkat masyarakat, penting untuk mengedepankan pendidikan publik tentang pengampunan, perdamaian, dan rekonsiliasi untuk mengurangi polarisasi sosial. Di tingkat pribadi, pengampunan harus dihidupi melalui doa, refleksi, dan konseling Kristen. Dengan cara ini, pengampunan yang berakar pada kematian dan kebangkitan Kristus dapat menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan penuh harapan, serta memperbaiki hubungan di berbagai aspek kehidupan.

     

    Referensi

    Chester, T. (2011). A Meal With Jesus: Discovering Grace, Community, and Mission Around the Table. Crossway.
    Kakung, N. (2025, January 5). “Cancel Culture: Saat Netizen Jadi Tuhan.” Medium. https://medium.com.
    Keller, T. (2022). Forgive: Why Should I and How Can I? Viking.
    Sproul, R. C. (1985). The Holiness of God. Tyndale House Publishers.
    Volf, M. (1996). Exclusion and Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness, and Reconciliation. Abingdon Press.

    Tentang Penulis

    Dr. Roedy Silitonga adalah teolog dan pendidik yang mengajar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pelita Harapan (UPH). Ia aktif menulis dan berbicara tentang integrasi iman dan keadilan sosial dalam pendidikan Kristen, serta terlibat dalam berbagai kegiatan pelatihan kepemimpinan dan pelayanan masyarakat. Fokus kajiannya mencakup teologi publik, pendidikan karakter, dan peran orang Kristen dalam masyarakat plural.

  • Meningkatkan Efektivitas Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

    Meningkatkan Efektivitas Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

    Meningkatkan Efektivitas Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

     

    Oleh: Jeannie Latumahina
    Ketua Umum RPA Indonesia.

     

    Terakhir ini kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Indonesia semakin mengkhawatirkan, terutama di tengah tekanan ekonomi dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor. Dari data resmi menunjukkan lonjakan kasus kekerasan berbasis gender yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

    Pada 2024, tercatat sekitar 330.097 kasus, naik 14,17% dari tahun sebelumnya, dengan kekerasan seksual sebagai jenis yang paling banyak terjadi. Anak perempuan usia 13–17 tahun menjadi kelompok paling rentan, dan hingga pertengahan 2025, lebih dari 13 ribu kasus kekerasan telah dilaporkan, didominasi oleh kekerasan seksual yang banyak terjadi di lingkungan rumah tangga.

    Faktor utama yang memicu kekerasan ini adalah pola asuh keluarga yang kurang tepat, penggunaan gadget tanpa pengawasan, serta tekanan sosial dan ekonomi yang semakin berat.

    Terdapat korelasi kuat meningkatkan kekerasan ini akibat kondisi ekonomi yang memburuk, terutama akibat PHK massal di sektor padat karya, turut menyumbangkan memperparah situasi ini. Banyak perempuan kehilangan pekerjaan, sehingga pendapatan keluarga menurun drastis dan telah memicu stres serta ketegangan dalam rumah tangga. Sehingga ketergantungan ekonomi perempuan pada pasangan semakin tinggi, membuat mereka lebih rentan terhadap kekerasan dan sulit mencari perlindungan.

    Beban ganda sebagai pencari nafkah sekaligus pengurus rumah tangga memperbesar risiko kekerasan, terutama di masa krisis yang berkepanjangan.

    Sementara pemerintah juga telah mengambil berbagai langkah strategis untuk menanggulangi kekerasan ini. Penguatan regulasi dan kebijakan pencegahan kekerasan, seperti Peraturan Menteri Agama No. 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan pendidikan, menjadi fondasi penting. Selanjutnya pemerintah melalui koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan juga diperkuat melalui rapat sinkronisasi kebijakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

    Pendirian Rumah Aman dan penguatan Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) terus dikembangkan sebagai tempat perlindungan dan layanan bagi korban. Kemudian melalui kampanye nasional penurunan kekerasan, pelatihan aparat penegak hukum, serta integrasi penanganan medis akibat kekerasan ke dalam cakupan BPJS Kesehatan juga menjadi fokus utama.

    Lebih daripada itu pengawasan ruang siber lebih diperketat untuk mencegah kekerasan daring, termasuk pembentukan direktorat khusus di tingkat wilayah agar penegakan hukum lebih responsif.

    Disisi lain kita ketahui adanya peran Relawan Perempuan dan Anak juga sangat vital. Relawan Perempuan dan Anak (RPA) Indonesia, yang dipimpin oleh Jeannie Latumahina, telah berjalan beberapa tahun terakhir di banyak provinsi turut aktif memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak secara gratis, mulai dari advokasi hukum, pendampingan korban, hingga pemulihan trauma.

    Relawan Perempuan dan Anak Indonesia, sangat gencar melakukan edukasi masyarakat dan mengawal proses hukum agar pelaku mendapat hukuman setimpal, sehingga mendatangkan efek jera, khususnya di wilayah rawan seperti Jakarta Utara, Jakarta Pusat, Depok , Bogor dll. RPA Indonesia juga fokus menangani kasus kekerasan seksual yang dialami kelompok rentan, termasuk anak dan perempuan disabilitas, serta bermitra dengan berbagai lembaga untuk semakin memperkuat perlindungan dan keadilan. Selain itu, di tingkat daerah ada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), serta Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN AKPA) turut berkontribusi dalam merumuskan kebijakan, evaluasi, layanan perlindungan, dan memperkuat sinergi lintas sektor.

    Meski telah berbagai upaya telah dilakukan, tantangan besar masih menghambat efektivitas penanganan kekerasan. Implementasi regulasi yang belum merata dan lambat, stigma sosial, budaya patriarki, keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia, serta pengawasan digital yang kurang efektif menjadi penghalang utama.

    Bagaimanapun juga adanya ketergantungan ekonomi perempuan akibat PHK juga menjadi hambatan besar dalam pemberdayaan dan perlindungan.

    Untuk mengatasi masalah ini secara komprehensif, sangat diperlukan penguatan kapasitas sumber daya manusia di lembaga penanganan kekerasan, pelatihan aparat penegak hukum dan tenaga pendamping korban agar lebih responsif dan sensitif gender. Pengembangan sistem informasi terpadu seperti SIMFONI PPA sangat penting untuk pendataan dan monitoring kasus secara real-time agar kebijakan lebih tepat sasaran. Selanjutnya perluasan dan penguatan Gerakan Nasional Anti Kekerasan melalui revisi dan perluasan Inpres Nomor 5 Tahun 2014 juga diperlukan untuk menciptakan ekosistem pencegahan dan rehabilitasi yang terintegrasi.

    Pemberdayaan ekonomi perempuan harus menjadi prioritas untuk mengurangi ketergantungan ekonomi yang menjadi akar kekerasan, dengan memperluas program kewirausahaan berperspektif gender dan akses pendidikan anak. Peningkatan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi komprehensif tentang kekerasan berbasis gender dan perlindungan anak, termasuk di ranah daring, perlu terus digalakkan. Penguatan layanan perlindungan korban melalui peningkatan anggaran, fasilitas, dan kemudahan akses, terutama di daerah terpencil, juga harus menjadi perhatian utama.

    Pengalaman negara lain akan dapat menjadi rujukan penting. Di Eropa, model Barnahus yang diadopsi di Latvia berhasil menciptakan proses peradilan ramah anak dan terintegrasi bagi korban kekerasan, mempercepat penanganan dan mengurangi trauma. Di Amerika Latin, organisasi Pro Mujer di Bolivia mengembangkan program pendampingan psikologis oleh perempuan penyintas kekerasan yang membangun solidaritas komunitas. Di Afrika, program Prevention+ yang dijalankan Rutgers WPF Indonesia dan mitra di beberapa negara telah berhasil mengubah norma sosial melalui pelibatan laki-laki dan anak laki-laki dalam pencegahan kekerasan serta pelatihan aparat penegak hukum untuk meningkatkan sensitivitas gender.

    Dengan pendekatan multisektoral dan komprehensif yang melibatkan reformasi hukum, pemberdayaan korban, edukasi masyarakat, dan perubahan norma sosial terbukti efektif dalam menekan angka kekerasan.

    Sehingga dengan mengadopsi praktik terbaik dari dalam dan luar negeri serta memperkuat sinergi antara pemerintah, relawan seperti RPA Indonesia, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, dan masyarakat luas, diharapkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat ditekan secara signifikan. Korban pun dapat memperoleh perlindungan dan pemulihan optimal, sehingga tercipta masyarakat yang lebih adil, aman, dan setara bagi perempuan dan anak di Indonesia.

    Tentunya dukungan dari berbagai pihak dan pendekatan yang menyeluruh menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi tantangan ini demi masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

    Rabu , 16 Juli 2025

  • Polemik Ijazah Jokowi: Bentuk Strategi Politik dan Tanggung Jawab Akademik UGM

    Polemik Ijazah Jokowi: Bentuk Strategi Politik dan Tanggung Jawab Akademik UGM

    Polemik Ijazah Jokowi: Bentuk Strategi Politik dan Tanggung Jawab Akademik UGM

     

    Oleh: Jeannie Latumahina

     

    Belakangan ini isu keaslian ijazah Presiden Joko Widodo sudah lama, santer menjadi perbincangan publik. Menariknya, kontroversi ijazah ini tak kunjung mereda meski Jokowi sudah tidak lagi menjabat sejak Oktober 2024. Bahkan, polemik ini semakin menguat di media sosial dan berbagai platform pemberitaan. Jika kita cermati, tidak menutup kemungkinan bahwa isu ini dengan sengaja diulur-ulur Jokowi sebagai bagian dari strategi politiknya yang cukup jitu. Sebagaimana yang beberapa kali dilakukan Jokowi dalam karir politiknya.

    Kita ketahui karier politik Jokowi dimulai dari tingkat lokal, ketika ia terpilih sebagai Wali Kota Surakarta (Solo) pada 2005. Selama dua periode memimpin, Jokowi dikenal berhasil melakukan berbagai inovasi yang mengubah wajah Solo, seperti pengembangan transportasi umum Batik Solo Trans dan penataan kawasan kota. Pada 2012, Jokowi melanjutkan kariernya sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga 2014, sebelum akhirnya terpilih sebagai Presiden Indonesia. Dan sekarang meski sudah lengser dari jabatan presiden pada 2024, Jokowi tetap terus aktif di panggung dunia politik.

    Saat ini, tampaknya Jokowi sedang mematangkan gagasan untuk mendirikan sebuah partai politik gaya baru yang dikenal dengan nama “Partai Super Terbuka” atau “Partai Super Tbk”. Dimana partai ini akan dirancang sebagai partai milik bersama seluruh anggotanya, dengan mekanisme pemilihan ketua secara terbuka oleh anggota. Gagasan ini masih dalam tahap pematangan dan belum menjadi partai resmi, namun mendapat perhatian masyarakat luas.

    Dalam konteks ini, maka isu keaslian ijazah yang terus diperdebatkan justru dimanfaatkan menjadi alat yang cukup efektif untuk bisa menjaga agar sorotan publik tetap tertuju padanya. Dengan begitu, nama Jokowi tetap hidup dan relevan di tengah persaingan politik yang semakin sengit.

    Demikian juga sikap Jokowi yang memilih untuk tidak membuka dokumen asli secara bebas, tapi tetap siap menghadapi proses hukum, adalah langkah yang cukup cerdas. Dengan pernyataannya menegaskan akan kesiapannya untuk menunjukkan ijazah asli di pengadilan jika diperlukan, namun Jokowi tetap menolak memperlihatkannya secara terbuka demi menjaga privasi dan menghindari politisasi berlebihan. Dengan mengalihkan penyelesaian isu ke ranah hukum, Jokowi dapat menghindari debat publik yang kerap berujung polarisasi dan kericuhan. Ini sekaligus menjaga kredibilitasnya tanpa harus terpapar langsung pada tekanan massa atau media yang kadang kurang objektif.

    Menjaga dokumen asli dari akses publik yang terlalu luas juga masuk akal. Ini penting untuk mencegah potensi penyalahgunaan dokumen, seperti pemalsuan atau manipulasi data yang bisa merugikan secara pribadi maupun politik. Jadi, mengulur waktu bukan soal mengalihkan perhatian dari isu pemerintahan, melainkan menjaga posisi dan relevansi politik di era pascapresiden.

    Tak heran jika sejumlah analis menilai Jokowi justru memanfaatkan polemik ini untuk keuntungan politiknya. Dengan terus mengangkat isu keabsahan ijazah, namanya tetap menjadi perbincangan hangat di publik dan media. Polemik ini jadi semacam “alat politik” yang membuatnya tetap relevan dan sulit dilupakan. Bahkan, isu ini bisa menjadi cara untuk mengkonsolidasikan dukungan sekaligus menyingkirkan lawan politik yang menggunakan isu serupa sebagai senjata.

    Di tengah gelombang polemik, Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Perguruan Tinggi Negeri dan juga institusi penerbit ijazah Jokowi berada pada peran yang krusial. UGM telah berulang kali memberikan klarifikasi resmi yang menegaskan keaslian ijazah tersebut. Jokowi tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Kehutanan angkatan 1980 dan menyelesaikan studinya hingga diwisuda pada November 1985. UGM juga telah menyerahkan dokumen lengkap mulai dari pendaftaran, transkrip nilai, hingga ijazah asli kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat Jokowi mencalonkan diri sebagai presiden pada 2014 dan 2019.

    Sikap UGM bagaimanapun harus tetap konsisten dengan menjunjung prinsip transparansi dan profesionalisme. Nama baik UGM, civitas akademika, dan para alumninya harus dijaga dengan sebaik-baiknya. Selain daripada itu UGM perlu terus membuka ruang dialog konstruktif dengan publik dan pihak-pihak yang mempertanyakan, namun tetap menjaga integritas akademik dan independensi institusi. Serta seharusnya menolak politisasi isu akademik dan menegaskan bahwa tuduhan palsu terhadap ijazah adalah fitnah yang merugikan reputasi kampus dan civitas akademika.

    Polemik keaslian ijazah ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bagian dari manuver politik yang lebih luas dan kompleks. Dan Jokowi berusaha mengelola isu ini dengan hati-hati agar bisa selalu mempertahankan citra positif, menghindari polarisasi yang merugikan, dan menjaga dokumen pribadinya tetap aman dari potensi penyalahgunaan.

    Sementara itu disisi lain UGM juga harus menjadi benteng kredibilitas akademik dan memberikan klarifikasi tegas demi melindungi nama baiknya dan civitas akademika.

    Di era informasi yang serba cepat dan penuh disinformasi, tanggung jawab institusi pendidikan tinggi seperti UGM sangatlah besar. Memberikan klarifikasi lengkap dan edukasi publik tentang proses akademik serta verifikasi ijazah bukan hanya soal membela nama baik kampus, tapi juga menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan nasional. Selanjutnya adalah semakin baik UGM menggandeng media kredibel dan tokoh akademik untuk menyampaikan fakta secara objektif serta membuka forum diskusi terbuka adalah langkah strategis untuk menciptakan iklim diskusi yang sehat dan berimbang.

    Bagaimanapun juga polemik ini harus menjadi pelajaran bersama bahwa isu akademik seharusnya tidak boleh dipolitisasi. Kejujuran dan transparansi harus dijunjung tinggi, bukan hanya demi nama baik individu maupun institusi, tapi juga demi menjaga integritas demokrasi dan kepercayaan publik.

    Sabtu, 19 April 2025

  • Apa Yang Sebenarnya Dunia Inginkan Dari Indonesia?

    Apa Yang Sebenarnya Dunia Inginkan Dari Indonesia?

    Apa Yang Sebenarnya Dunia Inginkan Dari Indonesia?

     

    Oleh : Jeannie Latumahina

     

    Tahun 2023 Indonesia kalah menghadapi Uni Eropa di WTO terkait embargo produk Sawit ke Eropa. Dan WTO minta Indonesia tidak menutup kran ekspor barang mentah.

    Salah satu alasan menolak Sawit karena hasil dari penggundulan hutan tropis. Memang kalau merujuk dari yang terjadi selama ini sejak era orde baru dengan program Sejuta Hektar Sawah yang akhirnya menjadi perkebunan sawit, memang sering terjadi.

    Di satu sisi juga diketahui bahwa mereka juga memiliki minyak Bunga Matahari.

    Kita juga mempertanyakan program Food Estate yang juga membabat hutan, Selain bagaimana kelanjutan program Food Estate, juga bertanya kemana kayu hasil dari penebangan hutannya.

    Selanjutnya malah kita kemudian dikejutkan dengan rencana Menhut yang akan menggunakan hutan cadangan seluas *20 Juta Hektar (dua kali pulau Jawa)* untuk keperluan Ketahanan Pangan dan Energi.

    Tentu kita berfikir bahwa program tersebut akhirnya akan mandeg (mangkrak) dan kemana kayu hasil penebangan hutan tersebut.

    Dan selama ini tampaknya dunia asyik aja, alias cuek menikmati ekspor mentah kayu dari Indonesia. Perlu diketahui Indonesia menempati peringkat ke 13 dunia dalam hal ekspor kayu.

    Tiga besar eksportir kayu dunia adalah Amerika, Rusia dan China. Malaysia berada pada peringkat sepuluh besar, sedangkan Vietnam peringkat di atas Indonesia dalam hal ekspor kayu. Vietnam dan Malaysia masing-masing memiliki nilai ekspor yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia, yaitu sekitar US$4 miliar dan US$2,4 miliar.

    Perlu juga diketahui bahwa selama ini tanaman sawit banyak menimbulkan pro kontra, terutama dampak lingkungan hidup alam.

    Jika merujuk dari fenomena di atas, boleh saja kita berfikir rencana keputusan Menhut akan menggunduli 20 juta hektar untuk diambil kayunya, karena Indonesia masih menghadapi kalah gugatan di WTO perihal ekspor sawit dan menghentikan ekspor bahan mentah.

    Sebenarnya dimana letak kekalahan Indonesia dalam ekspor kayu, sedangkan hutan Indonesia dikenal luas dan menjadi paru-paru dunia.

    Rendahnya peringkat Indonesia dalam ekspor kayu dunia, karena kelemahan dalam pengolahan hasil kayu, mulai dari pasokan bahan baku, teknologi pengolahan juga strategi tata kelola kayu.

    Jika demikian apakah rencana Menhut di atas, jelas perlu dipertanyakan transparansinya. Dan juga seperti apa rencana Kementrian Pertanian dan juga ESDM terkait rencana Menhut tersebut. Akan seperti apa rencana kedepan terkait Ketahanan Pangan dan Energi yang di canangkan.

    Demikian juga bagaimana kelanjutan dari hasil putusan WTO terkait perdagangan sawit dan ekspor bahan mentah.

    Semua ini tentunya harus menjadi kerja bersama, terbuka dan akuntabel demi masa depan Indonesia yang lebih baik. Indonesia harus bangkit menjadi negara maju dan berdaulat.

    Tentu juga Indonesia sangat membutuhkan ketahanan pangan dan energi sebagai landasan bisa lolos dari “jebakan pendapatan kelas menengah” atau middle income trap yang berakibat stagnan pertumbuhan ekonomi dibawah 5% selama puluhan tahun ini.

    Baiklah kita semua menyadari bahwa menuju Indonesia Emas bukan seperti membalik tangan, karena Indonesia adalah bagian dari banyak bangsa dunia.

    Rabu, 15 Januari 2025

  • Why Nations Fail: Kritik & Relevansi Bagi Indonesia

    Why Nations Fail: Kritik & Relevansi Bagi Indonesia

     

    Oleh: Albertus M. Patty

     

    Buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A. Robinson menjelaskan mengapa beberapa negara berhasil maju, sementara yang lain tetap terbelakang. Menurut mereka, kunci utama kemajuan adalah institusi. Negara dengan institusi yang inklusif dan demokratis, yang melibatkan banyak pihak dalam pengambilan keputusan dan melindungi hak-hak individu, akan berkembang. Sebaliknya, negara dengan institusi ekstraktif, yang hanya menguntungkan segelintir elite, akan tetap terjebak dalam kemiskinan dan ketimpangan.

    Buku ini memberikan banyak contoh menarik. Salah satunya adalah perbandingan Korea Utara dan Korea Selatan. Walaupun kedua negara memiliki sejarah dan budaya yang sama, institusi yang inklusif di Korea Selatan membuatnya maju, sementara Korea Utara dengan institusi ekstraktif, bahkan otoriter terperosok dalam kemiskinan.

    Namun, tidak semua setuju dengan argumen buku ini. Kritik utama adalah terlalu menekankan peran institusi, sehingga mengabaikan faktor lain seperti pengaruh globalisasi, tekanan dari luar dan kemajuan teknologi. Negara-negara yang serius melakukan inovasi teknologi berkembang sangat pesat. Misalnya Korea Selatan, Taiwan dan Israel. Ini yang tidak disorot Acemoglu dan Robinson.

    Bangsa kita belum terlalu “pede” dengan kualitas inovasi teknologi anak bangsa. Kita tidak punya minat menggarap soal ini. Lihat saja dari anggaran APBN. Sementara Israel memiliki anggaran R&D sebesar 6% dari APBN sehingga menjadi negara yang paling inovatif dalam teknologi, anggaran R&D kita hanya 0,02%. Hanya cukup untuk membayar para pembuat dan penyimpan makalah.

    Balik lagi ke buku di atas. Buku ini sangat relevan bagi kita. Sejarah kolonialisme Belanda menciptakan institusi ekstraktif yang masih terasa hingga sekarang. Sumber daya alam yang melimpah sering kali hanya menguntungkan segelintir orang, sementara masyarakat lokal tetap miskin.

    Reformasi 1998 menjadi titik awal perubahan menuju institusi yang lebih inklusif. Namun, tantangan besar lain seperti praktek korupsi, politik uang, mentalitas ‘broker’, dan ketimpangan pembangunan antarwilayah masih harus diatasi.

    Pelajaran penting dari buku ini adalah pentingnya membangun institusi yang melibatkan seluruh masyarakat, bukan hanya elite. Hal ini bisa dilakukan melalui transparansi, pendidikan, dan partisipasi aktif rakyat. Intinya, institusi yang demokratis harus diterapkan demi kemajuan bangsa.

    Tetapi, buku ini juga mengingatkan bahwa demokrasi saja tidak cukup. Demokrasi harus diiringi oleh kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat banyak.

    Dengan memperkuat institusi inklusif, Indonesia memiliki peluang besar untuk mencapai kemakmuran yang adil dan berkelanjutan.

    Bandung
    26 Oktober 2024