Festival Indonesia Kaki Lima 2025: Kontich Bergetar dalam Nuansa Budaya Indonesia yang Memukau
KONTICH, BELGIA – 21 Mei 2025 –
Kontich, sebuah kota di Belgia, baru saja menjadi saksi perayaan budaya Indonesia yang spektakuler dan penuh warna. Pada tanggal 17 dan 18 Mei 2025, edisi kedua Festival Indonesia Kaki Lima sukses memukau ribuan pengunjung, membawa semarak jajanan dan budaya khas Indonesia langsung ke jantung Eropa.
Diselenggarakan oleh Native Indonesia—organisasi yang didirikan oleh Irin Puspasari dan Indah Virginia, dengan dukungan penuh dari Jonas Kerremans, Silvie Kerremans, dan Amelia Diva Heren—festival ini tidak hanya menjadi ajang promosi budaya, tetapi juga jembatan persahabatan antara dua bangsa.
Festival ini secara resmi dibuka oleh Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Bapak Andri Hadi, bersama dengan Wakil Walikota Kontich, Peter Lambrechts. Momen ini menjadi simbol kuat eratnya hubungan bilateral yang harmonis, menegaskan posisi Indonesia sebagai mitra budaya yang signifikan di panggung internasional.
Gelaran Seni dan Musik yang Menggetarkan Jiwa
Sepanjang akhir pekan, panggung utama Festival Indonesia Kaki Lima dipenuhi dengan serangkaian pertunjukan yang memukau. Harmoni bambu dari ansambel Angklung Sanggar Sriwijaya bergema indah, sementara Dwi Mekar Belgium memukau penonton dengan tarian tradisional elegan khas Jakarta dan Bali, diiringi irama gamelan langsung dari Mudrasvara Nusantara. Tak ketinggalan, demonstrasi seni bela diri tradisional dari Pencak Silat Linkeroever dan Pamor Badai Amsterdam menambah adrenalin dan kekaguman.
Sektor musik pun tak kalah meriah. Penampilan energik dari BJamz, Magic Circle, Dhini Rambu Piras (runner-up The Voice Indonesia 2018), saksofonis Nana Willems, dan Joni Sheila (pendiri Asian Persuasion) berhasil menciptakan suasana penuh suka cita.
Salah satu momen paling mengharukan adalah penampilan spesial dari artis Belgia, Tinne Oltmans, yang datang ke acara Kaki Lima bersama dengan neneknya yang berdarah Indonesia—sebuah tribut pribadi yang menyentuh hati terhadap warisan budayanya. Acara ini dipandu dengan apik oleh Gabriel Celloste dan Silvie Kerremans, yang sukses membawa pengunjung dalam perjalanan budaya yang tak terlupakan.
Sorotan Fashion dan Kuliner Otentik Kaki Lima
Festival ini juga menjadi ajang unjuk gigi bagi talenta mode Indonesia. Anindya Asmarani Sindhuwinatha, yang baru berusia 17 tahun, tumbuh dengan kecintaan mendalam terhadap wastra Nusantara terinspirasi oleh sang tante, Maharani, pemilik sekaligus desainer di balik label Lurik Prasojo menghadirkan koleksi musim panas yang memadukan motif tradisional dengan sentuhan modern, membuktikan bahwa warisan budaya dapat bertransformasi menjadi karya inovatif yang relevan dengan generasi masa kini.
Tiffany Boetik memamerkan desain batik memukau dari proyek Bentalaproject – Master Bagasi, sementara DUA Bags, Toko Manis, dan De Hiro menampilkan beragam karya kerajinan tangan khas Indonesia yang unik dan artistik. Ichinogami dengan papercraftnya membuat anak-anak yang mengunjungi festival merasa tertantang untuk membuat figur hewan dari design mereka.
Pengunjung juga dimanjakan dengan aneka hidangan kuliner otentik Indonesia yang menjadi ciri khas “Kaki Lima”. Mulai dari bakso ikan KITO, nasi bakar Toko Kalimantan, masakan Bali Dwi Mekar, nasi goreng House of Indonesia, hingga es cendol Senang Sanur Bali. Kelezatan nasi padang dari Asiabel dan daging panggang khas Indonesia dari Asianindo melengkapi petualangan rasa, ditemani gin tonic menyegarkan dari Rotary Minerva serta es krim dan sorbet tropis dari Sorbetes Manong Jelle dan ’t Ijsbeertje.
Diskusi mendalam juga menjadi bagian penting dari festival ini, bekerja sama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Brussel, Asian Persuasion, Konservatorium Antwerpen, dan Anindya, dengan mengangkat tema krusial: “Budaya sebagai jembatan menuju harmoni dan kehidupan bersama.”
“Nama ‘Kaki Lima’ memiliki dua makna. Secara harfiah berarti ‘lima kaki’: pedagang kaki lima biasanya menggunakan gerobak dengan dua kaki (penjual itu sendiri), dua roda, dan satu balok penyangga—total lima ‘kaki’.
Secara historis, ‘Kaki Lima’ juga merujuk pada trotoar selebar lima kaki (sekitar 1,5 meter) yang dibangun oleh VOC (Perusahaan Hindia Timur Belanda) selama masa kolonial. Trotoar ini memberikan ruang bagi para pedagang kecil untuk menjajakan dagangannya—asal mula kehidupan jalanan yang dinamis yang masih menjadi ciri khas Indonesia hingga kini,” jelas Irin Puspasari, salah satu pendiri Native Indonesia, menjelaskan filosofi di balik nama festival yang ikonik ini.
Bagi mereka yang melewatkan festival ini, kesempatan untuk memiliki produk mode dan kerajinan tangan Indonesia masih terbuka di Kaki Lima Pop-Up Store, yang akan dibuka mulai bulan Juni di toko Toko Manis di Asiatpark, Vilvoorde.
Dengan keberhasilan luar biasa ini, Native Indonesia, bersama dengan Kedutaan Besar Indonesia di Brussel, Commpassion, Kekumpul, Quindo, dan PPI Belgia, terus berkomitmen untuk mempromosikan dan melestarikan budaya Indonesia di Belgia, menyatukan komunitas melalui kebersamaan, kreativitas, dan kebanggaan akan warisan bangsa.
“Makanan dan seni, seperti yang kita semua tahu, memiliki kekuatan unik untuk menyatukan orang-orang, mendorong dialog dan pemahaman di antara individu-individu dari berbagai latar belakang dan kebangsaan. Gerbang menuju hubungan yang lebih dalam. Saya berharap pertemuan ini memperkuat ikatan persahabatan, kemitraan, dan kolaborasi antara masyarakat Belgia dan Indonesia,” ujar Bapak Andri Hadi, Duta Besar Indonesia untuk Belgia.
Festival Indonesia Kaki Lima 2025 adalah lebih dari sekadar acara; ia adalah perayaan hangat akan identitas, tradisi, dan keterhubungan. Sampai jumpa tahun depan!
Tentang Native Indonesia
Native Indonesia adalah organisasi non-profit yang berdedikasi untuk mempromosikan dan melestarikan budaya Indonesia di Belgia melalui berbagai acara dan inisiatif.
Didirikan oleh Irin Puspasari dan Indah Virginia, organisasi ini berkomitmen untuk membangun jembatan budaya dan mempererat hubungan antar masyarakat Indonesia dan masyarakat internasional.