Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
BERITA

Hengky Menyoroti Akar Persoalan Migrasi Yang Kerap Diabaikan Yaitu Kegagalan Negara Dalam Menciptakan Lapangan Kerja Yang Layak Di Dalam Negeri

Avatar photo
58
×

Hengky Menyoroti Akar Persoalan Migrasi Yang Kerap Diabaikan Yaitu Kegagalan Negara Dalam Menciptakan Lapangan Kerja Yang Layak Di Dalam Negeri

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

 

 

Example 300x600

Jakarta — Sepanjang tahun 2025, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) kembali mencatat tingginya kasus perdagangan orang, kerja paksa, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami Pekerja Migran Indonesia (PMI), khususnya pada sektor Awak Kapal Perikanan (AKP), Pekerja Rumah Tangga (PRT), serta modus baru seperti forced scamming. Pola yang berulang ini menunjukkan bahwa persoalan migrasi tidak berdiri sendiri sebagai isu ketenagakerjaan, melainkan berkaitan erat dengan tata kelola migrasi yang lemah, orientasi kebijakan yang masih menitikberatkan pada penempatan dan remitansi, serta pembiaran terhadap praktik bisnis yang mengeksploitasi kerentanan migran.

Catatan Akhir Tahun (CATAHU) SBMI 2025 disusun sebagai dokumen reflektif sekaligus politis yang merekam situasi tersebut secara data, analisis, dan pengalaman korban. Mengangkat tema Jejak Gelap Migrasi di Rezim Ekonomi: Jaringan Bisnis Perdagangan Orang dan Runtuhnya Hak Asasi di Era Krisis Iklim, CATAHU 2025 menegaskan bahwa migrasi paksa tidak dapat dilepaskan dari krisis iklim, perampasan ruang hidup, serta kegagalan negara dalam membangun tata kelola migrasi yang berbasis hak asasi manusia. Riset SBMI di wilayah pesisir Pemalang memperlihatkan keterhubungan yang nyata antara krisis iklim, runtuhnya mata pencaharian nelayan dan masyarakat pesisir, dengan meningkatnya migrasi paksa ke sektor-sektor berisiko tinggi, termasuk AKP migran. Dalam situasi tersebut, lemahnya pengawasan negara dan inkonsistensi kebijakan antar kementerian justru membuka ruang bagi praktik perdagangan orang dan kerja paksa yang melibatkan aktor bisnis, perantara, dan pembiaran struktural oleh negara.

Peluncuran CATAHU SBMI 2025 menjadi momentum strategis untuk tidak hanya memaparkan temuan dan data, tetapi juga mendorong dialog kritis lintas pemangku kepentingan—pemerintah, jaringan masyarakat sipil, dan publik—guna merumuskan resolusi konflik tata kelola AKP migran serta arah perlindungan PMI ke depan yang berpihak pada korban dan keadilan sosial.

Tujuan Kegiatan

1. Memaparkan temuan utama CATAHU SBMI 2025 terkait tren TPPO, kerja paksa, dan pelanggaran HAM terhadap PMI sepanjang tahun 2025.
2. Membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap isu buruh migran di Tahun 2025.
3. Memperkuat posisi CATAHU SBMI sebagai alat advokasi kebijakan dan referensi publik.
4. Peluncuran Catatan Akhir Tahun 2025

Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) SBMI 2025 bertajuk “Jejak Gelap Migrasi di Rezim Ekonomi: Jaringan Bisnis Perdagangan Orang dan Runtuhnya Hak Asasi di Era Krisis Iklim” menjadi ruang refleksi penting atas kompleksitas persoalan migrasi tenaga kerja Indonesia. Dalam forum tersebut, Hengki, Ketua Indonesian Manning & Crewing Agencies Association (IMCAA), hadir sebagai narasumber dan menegaskan perlunya kehadiran negara yang nyata dan substansial dalam perlindungan pekerja migran.

Menurut Hengki, berbagai tanggapan dari para penanggap dalam diskusi menunjukkan benang merah yang sama, yakni harapan agar pemerintah tidak hanya hadir secara simbolik. “Kehadiran negara itu tidak boleh berhenti pada seremoni atau sebatas regulasi tertulis. Implementasi di lapangan harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat,” tegasnya.

Ia menyoroti akar persoalan migrasi yang kerap diabaikan, yaitu kegagalan negara dalam menciptakan lapangan kerja yang layak di dalam negeri. “Banyak warga berangkat ke luar negeri bukan karena pilihan bebas, tetapi karena keterpaksaan ekonomi. Lapangan kerja yang ada sering kali tidak relevan dengan kebutuhan hidup masyarakat,” ujar Hengki.

Menurutnya, migrasi seharusnya menjadi sebuah pilihan sadar, bukan jalan terpaksa. Untuk itu, negara wajib hadir sejak hulu hingga hilir, mulai dari penyediaan lapangan kerja di dalam negeri, proses penempatan ke luar negeri, hingga perlindungan menyeluruh sesuai amanat undang-undang.

Dalam kesempatan tersebut, Hengki juga menekankan pentingnya perlindungan bagi pelaku penempatan, khususnya perusahaan awak kapal. Ia menilai perlindungan terhadap industri penempatan merupakan bagian tak terpisahkan dari perlindungan pekerja migran itu sendiri. “Pemerintah harus memiliki political will yang kuat dalam membangun hubungan dengan negara-negara penempatan. Jika industrinya sehat dan terlindungi, maka dampak positifnya akan langsung dirasakan oleh pekerja migran,” jelasnya.

Peluncuran Catahu SBMI 2025 ini diharapkan menjadi pengingat bahwa persoalan migrasi tidak bisa diselesaikan secara parsial. Diperlukan kehadiran negara yang konsisten, berkeadilan, dan berpihak pada perlindungan hak asasi manusia, terutama di tengah tantangan ekonomi global dan krisis iklim yang semakin kompleks.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *