Jakarta – Pembubaran diskusi & Intimidasi aksi yang terjadi beberapa hari belakangan ini menimbulkan kekhawatiran akan terkikisnya ruang kebebasan berpendapat di dalam negara demokrasi. Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (PC IMM) Jakarta Selatan menyoroti tindakan premanisme yang membubarkan kegiatan diskusi & aksi tanpa alasan yang jelas dan mempertanyakan pihak keamanan yang membiarkan kejadian itu berangsung.
Peristiwa ini bukan hanya mencederai hak konstitusional setiap warga negara untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat, tetapi juga mencerminkan adanya upaya penggembosan terhadap prinsip-prinsip demokrasi di Indoensia.
Kegiatan diskusi di Hotel Grand Kemang, Sabtu (28/9) dan intimidasi provokasi di Aksi Global Climate Strike di Jakarta, Jum’at (27/9), sangat menodai kehidupan demokrasi di Indonesia & mempertegas menurunnya indeks demokrasi di bawah kepemimpinan Rezim Joko Widodo.
Ketua Bidang Hikmah, Politik & Kebijakan Publik PC IMM Jakarta Selatan, Rhafli Anugrah Akbar, mengutuk keras kejadian tersebut. Menurutnya, di negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah pilar penting yang harus dilindungi. Masyarakat berhak untuk mendiskusikan berbagai isu, baik yang menyangkut politik, sosial, budaya, maupun ekonomi, tanpa rasa takut akan tindakan Intimidasi oleh pihak manapun.
“Pembubaran kegiatan diskusi & Intimidasi aksi dianggap sebagai sinyal bahwa ada upaya untuk membatasi ruang gerak masyarakat dalam menyampaikan gagasan atau kritik. Yang semestinya dilihat sebagai bagian dari dinamika demokrasi,” kata Rhafli dalam keterangannya.
Rhafli juga memberikan pandangan bahwa kondisi ini bisa memicu seruan dari berbagai elemen masyarakat kepada pemerintah dan pihak berwenang untuk kembali menegakkan supremasi hukum yang menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Jika kebebasan ini terus digerus, di khawatirkan negara akan beralih dari demokrasi menuju otoritarianisme. Dimana hanya satu suara yang mendominasi, sementara suara-suara kritis diberangus,“ ujarnya.
“Sorotan khusus pada kejadian ini adalah kehadiran pihak berwernang yang seharusnya mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat yang sedang menjalankan kegiatan yang dilindungi oleh konstitusi. Pihak berwenang yaitu Kepolisian tidak mengambil langkah konkrit untuk melindungi keberlangsungan kegiatan diskusi dan keamanan saat Aksi berlangsung,” imbuhnya.
Rhafli mengatakan, melompok preman dengan terang-terangan melakukan intimidasi fisik maupun verbal terhadap penyelenggara dan peserta, yang mengakibatkan ketakutan dan kekacauan. Masyarakat mempertanyakan sikap aparat Kepolisian yang dinilai tidak tegas dalam mengatasi aksi-aksi premanisme ini. Sehingga memunculkan persepsi bahwa aparat tidak mampu atau tidak mau melindungi hak-hak warga negara untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat.
Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Jakarta Selatan menilai bahwa ketidak mampuan pihak berwenang dalam memberikan rasa aman kepada masyarakat dalam konteks kebebasan berpendapat adalah bentuk kelalaian yang serius.
Dalam sebuah negara demokrasi, aparat penegak hukum memiliki kewajiban untuk menjamin bahwa warga negara dapat berpartisipasi dalam diskusi dan forum-forum publik tanpa adanya rasa takut atau ancaman dari kelompok-kelompok tertentu. Namun, pada kenyataannya, pembubaran paksa & Intimidasi yang terjadi justru menunjukkan bahwa pihak berwajib gagal mengantisipasi dan menindak tegas tindakan premanisme yang menggerogoti kebebasan sipil.
Terakhir, PC IMM Jakarta selatan menuntut agar pihak Kepolisian segera bertindak dan menjalankan tugasnya dengan professional, serta mendesak agar ada tindakan hukum yang jelas terhadap para pelaku intimidasi, tanpa pandang bulu, agar kejadian serupa tidak terus berulang di masa mendatang.