Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
BERITA

Koalisi Masyarakat Sipil & Sejumlah Akademisi Dan Aktivis Hukum Menyuarakan Keprihatinan Atas Penanganan Hukum Terhadap Mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong Dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Avatar photo
45
×

Koalisi Masyarakat Sipil & Sejumlah Akademisi Dan Aktivis Hukum Menyuarakan Keprihatinan Atas Penanganan Hukum Terhadap Mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong Dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Jakarta- Sejumlah akademisi dan aktivis hukum menyuarakan keprihatinan atas penanganan hukum terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Mereka menilai kedua kasus ini tidak hanya sarat kejanggalan dan minim bukti, tetapi juga menunjukkan indikasi kuat bahwa hukum sedang digunakan sebagai alat kekuasaan.

Dalam diskusi terbuka bertajuk “Politically Motivated Prosecution dan Ancaman terhadap Demokrasi” yang digelar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba, para pembicara sepakat bahwa proses hukum terhadap kedua tokoh ini mencerminkan gejala penuntutan bermotif politik (politically motivated prosecution) yang mengancam independensi peradilan dan nilai-nilai demokrasi konstitusional.

Example 300x600

Diskusi yang digelar Senin pagi (21/7) ini menghadirkan tiga narasumber utama: Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, pakar hukum tata negara Feri Amsari, dan Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto. Forum ini menjadi ruang refleksi kritis atas pelemahan sistem checks and balances dan kemunduran etika penegakan hukum di Indonesia.

Feri Amsari: “Peradilan Telah Tergelincir Menjadi Instrumen Kekuasaan”

Dalam paparannya, Feri Amsari menilai bahwa proses hukum terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tidak lagi berlandaskan asas keadilan yang objektif. Ia mengacu pada Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menjamin perlakuan yang sama di hadapan hukum.

“Kita menyaksikan bagaimana prinsip kesetaraan hukum dilanggar terang-terangan. Dalam kasus Tom Lembong, tidak terbukti ada keuntungan pribadi. Padahal, dalam tindak pidana korupsi, mens rea dan adanya keuntungan materiil adalah elemen kunci. Jika tidak ada keuntungan, maka di mana letak unsur korupsinya?” tegas Feri.

Ia juga menilai bahwa argumen hukum yang digunakan dalam persidangan cenderung absurd. “Saya belum pernah menemukan dalam literatur hukum pidana bahwa seseorang bisa dihukum karena memiliki pandangan ekonomi kapitalis. Kalau itu dijadikan dasar pemidanaan, maka banyak pemikir dan ekonom bisa masuk penjara,” sindirnya.

Dalam kasus Hasto Kristiyanto, Feri mengkritisi praktik Pergantian Antar Waktu (PAW) yang dinilai tidak diterapkan secara adil. “PAW juga dilakukan oleh partai-partai lain, termasuk partai yang sedang berkuasa. Namun hanya pihak oposisi yang ditetapkan sebagai tersangka. Ini bukan penegakan hukum, ini pembusukan hukum,” tegasnya.

Feri menyimpulkan bahwa pengadilan telah kehilangan independensinya dan berubah menjadi alat legitimasi politik. “Kalau oposisi dibungkam melalui hukum, maka kita sedang menyaksikan demokrasi yang diruntuhkan dari dalam, dengan hukum sebagai alat perusaknya,” tutupnya.

Usman Hamid: “Ketika Hukum Menjadi Teror bagi Mereka yang Bersuara Kritis”

Disisi lain, Usman Hamid menegaskan bahwa praktik penuntutan bermotif politik adalah pelanggaran berat terhadap prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Ia mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang melarang kriminalisasi atas dasar perbedaan pandangan politik.

“Penegakan hukum yang berkeadilan harus menjamin bahwa proses penyidikan dan penuntutan tidak boleh digunakan sebagai alat represi politik. Ketika hukum dijadikan alat kekuasaan, keadilan berubah menjadi teror bagi mereka yang bersuara berbeda,” ujarnya.

Ia menekankan bahwa ini bukan sekadar kasus individual, melainkan bagian dari gejala sistemik yang menunjukkan absennya mekanisme pengawasan dan kontrol antarlembaga. “Jika lembaga yudisial tak lagi independen, maka tidak ada lagi benteng terakhir bagi warga negara untuk mencari perlindungan dari kesewenang-wenangan,” tambahnya.

Sulistyowati Irianto: “Ketika Generasi Muda Tak Lagi Percaya pada Hukum”

Sementara itu, Guru Besar UI Sulistyowati Irianto mengangkat isu krisis kepercayaan publik, khususnya generasi muda, terhadap sistem hukum nasional. Menurutnya, respons skeptis dan sinis yang muncul di media sosial merupakan indikator serius melemahnya legitimasi hukum.

“Ketika anak-anak muda tidak lagi percaya pada pengadilan, itu bukan sekadar krisis kepercayaan. Itu adalah krisis legitimasi hukum. Dan itu sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi,” ujarnya.

Ia mengutip pemikiran Aharon Barak, hakim agung dari Israel, yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh sekadar menjadi “colok undang-undang” atau pembaca teks hukum secara kaku. Dalam dunia yang cepat berubah, kata Sulistyowati, hakim harus mampu menafsirkan hukum secara kontekstual dan progresif.

“Di Eropa, keputusan hakim dianggap sebagai sumber hukum, dan kualitasnya dijaga ketat agar ada kepastian hukum. Di Indonesia, banyak hakim masih melihat hukum secara sempit, sekadar mengutip undang-undang, tanpa mempertimbangkan konteks sosial-politik,” jelasnya.

Ia juga menyoroti bahwa hakim seharusnya menyadari bahwa perkara seperti yang menimpa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tidak bisa dilihat hanya sebagai perkara pidana biasa. “Harusnya disadari bahwa ada konteks politik yang kuat. Tapi yang terjadi, fakta persidangan diabaikan, suara publik diabaikan, dan akhirnya muncul putusan tujuh tahun penjara yang tidak masuk akal,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa putusan tersebut mencerminkan kembalinya Indonesia ke era “kesewenang-wenangan hukum” suatu kondisi yang seharusnya telah ditinggalkan sejak reformasi 1998.

“Setelah 27 tahun reformasi, kita justru menyaksikan kebangkitan kembali model kesewenang-wenangan hukum yang pernah kita lawan. Ini adalah tanda kemunduran institusional yang sangat serius,” tutupnya.

Seruan Bersama: Kembalikan Hukum ke Relnya

Sebagai penutup, para akademisi menyerukan agar lembaga peradilan dan penegak hukum dikembalikan ke posisi netral, independen, dan taat pada prinsip-prinsip due process of law. Mereka juga mendorong masyarakat sipil untuk terus mengawasi dan menyuarakan kritik terhadap praktik penyalahgunaan hukum demi kepentingan politik jangka pendek.

“Keadilan bukan milik pemerintah, bukan milik partai politik. Keadilan adalah milik rakyat. Maka jika keadilan diinjak-injak, rakyatlah yang pertama dan paling berhak bersuara,” tegas Feri Amsari.

Diskusi ini merupakan bagian dari gerakan moral yang lebih luas untuk menegakkan supremasi hukum dan menjaga demokrasi dari ancaman otoritarianisme terselubung. Dalam negara hukum yang sehat, hukum tidak boleh tunduk pada kekuasaan, melainkan menjadi pelindung hak-hak warga negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang.

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *