METROPOLITAN POST— Majelis Adat Indonesia (MAI), yang terdiri dari tokoh pemangku adat, trah Sultan, Raja, dan para Datuk, menyatakan keprihatinan mendalam atas pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) oleh pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN).
Program yang seharusnya memperbaiki gizi anak-anak Indonesia ini justru menimbulkan ancaman serius bagi keselamatan mereka. Berbagai laporan di lapangan menunjukkan ribuan pelajar mengalami keracunan massal setelah mengonsumsi makanan dari program MBG. Data terbaru mencatat lebih dari 5.360 pelajar menjadi korban, dengan kemungkinan jumlah yang lebih besar karena banyak kasus tidak terlaporkan.
Kasus keracunan tersebar di berbagai daerah, antara lain:
•Tasikmalaya, Jawa Barat: 400 pelajar keracunan karena ayam teriyaki terkontaminasi bakteri.
•Kabupaten PALI, Sumatera Selatan: 173 anak keracunan akibat tempe goreng tercemar, Staphylococcus aureus.
•Baubau, Sulawesi Tenggara: 37 siswa dilarikan ke rumah sakit setelah mengonsumsi makanan MBG.
•Garut, Jawa Barat: 194 siswa keracunan, 19 di antaranya memerlukan perawatan intensif.
•Sumbawa, NTB: Ratusan siswa mengalami mual, muntah, dan diare.
Investigasi laboratorium menemukan berbagai kontaminasi berbahaya seperti; Salmonella, E.coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, hingga jamur Candida tropicalis.
MAI menilai bahwa akar masalah terletak pada lemahnya pengawasan, potensi korupsi, dan infrastruktur pelayanan gizi yang tidak layak. Transparency International Indonesia (TII) bahkan menegaskan bahwa program MBG rawan manipulasi, mark-up harga, dan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah.
Keracunan massal ini juga menimbulkan trauma mendalam, seperti orang tua yang enggan mengizinkan anaknya makan MBG, anak-anak yang takut pada makanan sekolah, serta menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap program pemerintah. Lebih jauh, kasus serupa di Garut bahkan menelan korban jiwa, termasuk seorang anak berusia 8 tahun.
Sebagai alternatif, MAI menyerukan bantuan langsung kepada orang tua murid agar mereka dapat menyiapkan makanan yang lebih higienis, bergizi, dan sesuai kebutuhan anak. Model ini dinilai lebih efisien, aman, dan meminimalkan kebocoran anggaran.
MAI menuntut pemerintah untuk:
• Menghentikan sementara program MBG hingga evaluasi menyeluruh dilakukan.
• Melaksanakan audit independen terhadap dapur dan pengadaan MBG.
• Memberikan kompensasi yang layak kepada korban dan keluarga.
• Menindak tegas pihak-pihak yang lalai atau melakukan penyalahgunaan.
Seruan ini sejalan dengan pernyataan Sri Sultan HB X yang mengingatkan agar pola masak MBG diperhitungkan lebih matang. MAI menegaskan bahwa meskipun tujuan program ini baik, mekanisme dan prosedurnya justru membuka peluang bagi pihak tidak bertanggung jawab.
Sementara, HRM Soekarna Djatmadipoera, Pembina Perintis Kemerdekaan RI Dewan Rama Diraja Nusantara, menyatakan, Program ini pada dasarnya bagus, tetapi teknik, mekanisme, dan prosedurnya justru membuka peluang bagi pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk menjadikannya ajang pembunuhan massal.
“Inilah contoh kebijakan yang tidak presisi dan tidak cerdas. Setuju untuk menghentikan program ini, atau bila tetap dilanjutkan, anggaran sebaiknya diberikan langsung kepada orang tua murid secara cerdas, terukur, tepat sasaran, dan aman dari segala bentuk pemotongan.” ungkapnya.
Keselamatan anak adalah hukum adat tertinggi. MAI mengajak seluruh elemen masyarakat sipil, orang tua, dan pemimpin daerah untuk bersatu mengawal keselamatan generasi penerus bangsa, agar program yang seharusnya menyehatkan tidak berubah menjadi bencana kemanusiaan.
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, juga telah menyoroti kasus keracunan pascakonsumsi MBG yang viral belakangan ini. Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu mendesak setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di wilayahnya untuk menghitung pola masak dengan cermat guna mencegah terulangnya kasus keracunan. Tercatat, sudah ada tiga kasus keracunan MBG di DIY dengan ratusan korban di Sleman, Kulon Progo, dan Gunungkidul.
Sultan HB X menduga bahwa kasus keracunan terjadi karena hidangan MBG diolah tanpa mempertimbangkan kualitas dan masa tahan makanan. “Biasanya kalau pesanan 50, mungkin jam setengah lima pagi sudah masak, nanti mungkin dimakan jam delapan apalagi jam sepuluh (pagi),” kata Sultan pada Jumat (19/9/2025). Ia menambahkan, jika kuantitas hidangan bertambah dua kali lipat, waktu masak akan semakin maju, menyebabkan makanan, terutama sayur, menjadi layu dan berpotensi keracunan.
Untuk mengatasi hal ini, Sultan menyarankan penambahan personel di dapur MBG agar waktu antara pengolahan dan penyajian makanan tidak terlalu lama. Ia juga menekankan pentingnya peran pemerintah kabupaten/kota dalam mengontrol kualitas hidangan MBG.
Secara terpisah, Ketua DPRD DIY, Nuryadi, mendorong setiap unit SPPG untuk meningkatkan kehati-hatian, kualitas mutu pangan, dan kebersihan setiap hidangan MBG. DPRD DIY masih meninjau keterlibatan pemerintah daerah dan kewenangan legislatif dalam mengawasi pelaksanaan MBG yang diselenggarakan pemerintah pusat melalui Badan Gizi Nasional (BGN). Meskipun demikian, politikus PDIP ini yakin komisi terkait di lembaganya tidak akan tinggal diam dan akan terus melakukan pengawasan untuk mencegah terulangnya kasus keracunan MBG. (Red)