Teks Foto: Syahrir Ika Peneliti Ahli Utama BRIN, (Istimewa)
METROPOLITAN POST— Pajak seringkali dipandang sebagai beban masyarakat dan sekadar angka dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Syahrir Ika, menegaskan bahwa paradigma tersebut perlu diubah. Pajak sejatinya adalah investasi kolektif menuju kebahagiaan kolektif, bukan hanya kewajiban administratif.
“Di negara-negara Skandinavia, pajak justru menjadi simbol solidaritas. Warga dengan bangga menempelkan bukti pembayaran pajak di rumah atau tokonya, sebagai tanda bahwa mereka ikut membangun kesejahteraan bersama,” ujar Syahrir Ika.
Tantangan Fiskal Indonesia
Indonesia kini tengah berada di persimpangan penting. Di satu sisi, pemerintah perlu menjaga defisit, mengendalikan utang, dan membiayai belanja publik yang terus meningkat. Di sisi lain, penerimaan pajak menghadapi tekanan akibat perlambatan ekonomi global, penghindaran pajak, dan basis pajak yang belum optimal.
Fenomena kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 1000% di beberapa daerah menjadi contoh nyata yang memicu gejolak publik. Kebijakan seperti ini, menurut Syahrir, ibarat “kejutan fiskal” yang justru berpotensi meruntuhkan kepercayaan masyarakat.
“Kepercayaan publik bisa runtuh jika kebijakan pajak tidak berkeadilan. Trust hanya lahir bila masyarakat merasakan bahwa beban yang ditanggung sepadan dengan manfaat yang diterima,” jelasnya.
Pajak Sebagai Instrumen Keadilan
Sejak abad ke-18, Adam Smith menekankan empat prinsip perpajakan: keadilan, kepastian, kenyamanan, dan efisiensi. Dari semuanya, keadilan tetap menjadi inti.
Ketika masyarakat melihat jalan desa diperbaiki, sekolah nyaman, puskesmas lebih layak, dan subsidi tepat sasaran, pajak berubah menjadi ikatan emosional dengan negara. Namun bila pajak bocor karena korupsi atau dialokasikan untuk proyek tidak prioritas, kontrak sosial pun terkoyak.
Laporan OECD (2023) menegaskan hal serupa: negara dengan tingkat kepercayaan publik tinggi seperti Denmark dan Selandia Baru mampu menjaga kepatuhan pajak hampir penuh tanpa tekanan.
Jalan Membangun Trust Fiskal
Menurut Syahrir, ada tiga langkah strategis untuk memperkuat kepercayaan fiskal di Indonesia:
Transparansi Radikal – Publik harus tahu ke mana uang pajak dialokasikan, misalnya melalui dashboard interaktif yang jelas dan mudah diakses.
Keadilan Distribusi – Pajak harus nyata dirasakan oleh kelompok rentan: petani, nelayan, hingga pelaku UMKM.
Keteladanan Elite – Kepercayaan publik tidak mungkin tumbuh bila pejabat publik mempertontonkan gaya hidup hedonis.
Dari Skandinavia untuk Indonesia
“Kisah Skandinavia menunjukkan bahwa pajak dapat menjadi sumber kebanggaan kolektif. Warga rela membayar bukan karena dipaksa, tetapi karena percaya,” kata Syahrir.
Indonesia, tambahnya, dapat menuju ke arah yang sama dengan membangun trust fiskal secara konsisten. “Pajak bukan sekadar angka di APBN atau beban rakyat, melainkan simbol keadilan, solidaritas, dan investasi bersama menuju kebahagiaan kolektif,” tutupnya.(Red)