Oleh: Riski Syah Putra Nasution, S.H.
Koordinator AMPUH INDONESIA
METROPOLITAN POST –Pemberian abolisi atau amnesti kepada terduga pelaku korupsi terlebih jika didorong oleh manuver seorang legislator berpengaruh yang duduk di pusat kekuasaan bukan sekadar tindakan politis, melainkan bentuk pengkhianatan terhadap keadilan dan cita-cita luhur bangsa. Langkah seperti ini tidak hanya melukai rasa keadilan publik, tetapi juga meruntuhkan prinsip dasar negara hukum: equality before the law.
Rusaknya Moral Kolektif dan Legitimasi Negara
Secara sosiologis, pengampunan terhadap pelaku korupsi menciptakan preseden buruk. Ketika masyarakat menyaksikan bahwa pelaku kejahatan luar biasa justru mendapatkan keistimewaan politik, maka nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab tak lagi memiliki tempat dalam kesadaran sosial.
Negara yang memaafkan korupsi atas nama kompromi politik akan kehilangan legitimasi. Rakyat menjadi skeptis terhadap hukum. Negara terlihat membela yang kuat dan mengabaikan keadilan bagi yang lemah.
Trauma Sosial dan Kemarahan Kolektif
Korupsi bukan sekadar kejahatan administratif—ia merampas hak rakyat. Korban korupsi adalah masyarakat luas yang kesulitan mengakses pendidikan, kesehatan, hingga layanan dasar akibat anggaran publik yang dikuras.
Pemberian abolisi atau amnesti kepada pelaku korupsi menyisakan trauma psikologis dan menanamkan rasa ketidakadilan. Akibatnya, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi, memicu apatisme sosial, dan bisa menimbulkan ketegangan horisontal di tingkat akar rumput.
Dekonstruksi Keadilan dan Intervensi Kekuasaan
Dalam konteks penegakan hukum, pemberian pengampunan melalui Keputusan Presiden (Keppres) atas tekanan politik jelas merupakan bentuk intervensi terhadap independensi peradilan. Ini mencederai prinsip pemisahan kekuasaan dan membuka ruang selektivitas hukum:
Rakyat kecil dihukum karena mencuri demi makan, tapi pejabat pencuri uang negara justru diampuni demi kepentingan politik.
Inilah bentuk nyata dari selective justice—perlakuan hukum yang tidak setara dan melawan semangat reformasi.
Figur Legislator “Sang DON”: Kompromi Politik di Atas Konstitusi
Apabila inisiatif pengampunan berasal dari seorang legislator yang dikenal berpengaruh dan vokal di parlemen, maka yang bersangkutan telah menyalahgunakan kewenangannya. Ia telah menukar mandat rakyat dengan kompromi kekuasaan.
Seorang anggota DPR semestinya menjadi penjaga moral politik dan pengawas eksekutif, bukan pelindung para pelaku kejahatan korupsi. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap Pembukaan UUD 1945, yang menegaskan tujuan bernegara: melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Bertentangan dengan Astacita dan Visi Indonesia Emas
Pemberian amnesti atau abolisi kepada koruptor juga bertolak belakang dengan Astacita, khususnya Astacita ke-7:
Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Langkah ini mengaburkan arah perjuangan menuju Indonesia Emas 2045, sebagaimana menjadi visi pemerintahan Presiden H. Prabowo Subianto. Tanpa penegakan hukum yang adil dan konsisten, semua rencana besar akan kehilangan pijakan moral dan etika kebangsaan.
AMPUH INDONESIA Menyerukan: Tolak Pengampunan untuk Koruptor!
Atas dasar itu, kami dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Untuk Hukum (AMPUH) INDONESIA dengan tegas menyerukan:”Tolak segala bentuk abolisi dan amnesti terhadap pelaku tindak pidana korupsi!”
Negara ini tidak kekurangan anak muda yang siap berdiri di garis depan memperjuangkan keadilan. Jangan biarkan kompromi politik meruntuhkan masa depan bangsa!.
Laporan : Bar.S