Jakarta – Dewan Pimpinan Pusat National Corruption Watch (DPP NCW) secara tegas membantah narasi dan konstruksi hukum yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) RI terkait penetapan tersangka mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Enrekang, Padeli. NCW menilai, perkara tersebut tidak dapat direduksi sebagai sekadar “penerimaan uang” atau suap, melainkan merupakan dugaan kuat tindak pidana pemerasan dalam jabatan serta kriminalisasi hukum.
Wakil Ketua DPP NCW, Dony Manurung, menyatakan bahwa penggunaan konstruksi hukum yang keliru berpotensi mengaburkan pola kejahatan yang bersifat sistemik dan justru dapat melindungi aktor-aktor lain yang terlibat.
Bukan Penerima Pasif, Diduga Aktor Aktif Pemerasan
NCW menyoroti rilis resmi Kejagung yang menggunakan terminologi “penerimaan uang”, karena dinilai memosisikan Padeli sebagai pihak pasif atau penerima suap. Padahal, berdasarkan data dan laporan pengaduan yang dihimpun NCW, Padeli diduga berperan sebagai aktor aktif yang memanfaatkan kewenangan jabatannya melalui tekanan hukum, intimidasi, serta tekanan psikologis untuk memaksa pihak-pihak tertentu menyerahkan uang.
NCW juga menegaskan bahwa Padeli tidak sekadar menerima uang senilai Rp840 juta. Dalam perjalanan penanganan perkara Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) di Kabupaten Enrekang, Padeli diduga melakukan pemerasan dengan nilai yang jauh lebih besar, yakni hampir menyentuh angka Rp2 miliar.
“Padeli tidak sedang menerima suap. Ia memeras dengan jabatan. Jika Kejagung mengubah konstruksi pemerasan menjadi suap, itu berarti ada upaya sistematis untuk memutus mata rantai kejahatan dan melindungi aktor-aktor lain di belakangnya,” tegas Dony dalam keterangan tertulis, Selasa (23/12/2025).
Desakan Audit Forensik Digital
NCW mendesak penyidik Kejagung untuk segera melakukan audit forensik digital secara menyeluruh terhadap seluruh perangkat komunikasi milik tersangka Padeli. Langkah ini dinilai krusial mengingat adanya dugaan praktik “sandra perkara” yang dilakukan secara sistematis melalui komunikasi pribadi.
Menurut NCW, dugaan pemerasan tersebut menyasar berbagai pihak, mulai dari kepala desa di Kabupaten Enrekang, pejabat di lingkungan organisasi perangkat daerah (OPD), DPRD, BUMD, hingga pihak swasta yang memiliki kontrak pembangunan daerah. Data komunikasi dalam ponsel tersangka disebut sebagai pintu masuk utama untuk membongkar jaringan pemerasan yang lebih luas.
Dugaan Keterlibatan Jaringan dan Aliran Dana
NCW juga meyakini bahwa Padeli tidak bekerja seorang diri. Oleh karena itu, Kejagung didesak menelusuri aliran dana hasil pemerasan, termasuk kemungkinan mengalir kepada oknum elite politik atau atasan yang diduga membekingi serta turut menikmati hasil kejahatan tersebut.
Berdasarkan laporan pengaduan yang diterima NCW, selama menjabat Padeli disebut aktif berkomunikasi dengan sejumlah elite politik di Sulawesi Selatan, khususnya di wilayah Enrekang.
NCW mengingatkan agar penyidikan tidak berhenti pada satu tersangka semata. “Jangan sampai perkara ini hanya berhenti pada ‘pemain lapangan’ dan tidak menyentuh aktor intelektualnya,” ujar Dony.
Ancaman Dorong KPK Ambil Alih
Sebagai penutup, DPP NCW memberikan peringatan keras kepada Kejagung RI. Apabila penanganan perkara ini dinilai dikerdilkan atau hanya berhenti pada sosok Padeli tanpa mengungkap jaringan pemerasan secara menyeluruh, NCW menyatakan siap mengambil langkah hukum lanjutan.
“Kami akan mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih perkara ini jika Kejagung terkesan melindungi internalnya. Kasus ini adalah ujian integritas bagi Jaksa Agung. Jangan sampai hukum disandera oleh kepentingan kekuasaan,” tutup Dony.
(ard)






