Foto: Sandri Rumanama, (dok.google/Ist)
METROPOLITAN POST— Pernyataan tegas Sandri Rumanama mengenai urgensi reformasi struktural dan organisatoris di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) kini menjadi sorotan media internasional. Sejumlah portal berita luar negeri menyorot pandangannya dan bahkan menjadikannya headline news dengan judul, “Police Reform Must Address Structural and Organizational Aspects, Not Just Cultural Ones.”
Pengamat Politik Internasional sekaligus Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PB SEMMI) tersebut menegaskan bahwa reformasi Polri tidak boleh berhenti pada perubahan etik, kultur, atau pola komunikasi institusi, melainkan wajib menyasar pembenahan institusional dan tata kelola organisasi.
“Reformasi Polri harus menyentuh ranah struktural dan organisatoris agar bisa menjawab tantangan era, bukan hanya perubahan kultur semata,” ujar Sandri.
Menurutnya, peningkatan profesionalisme personel dan pembaruan etika kerja penting sebagai pondasi, namun tanpa pembenahan struktur organisasi, reformasi hanya akan bersifat kosmetik.
“Tuntutan negara dan pola kejahatan berubah mengikuti perkembangan zaman. Ranah kultural adalah pondasi dasar, tetapi peningkatan pada aspek struktural dan organisatoris juga sangat penting,” tegasnya.
Sorotan: Tiga Unsur Struktural Polri Harus Di-upgrade
Sandri menilai sejumlah unit strategis di bawah Kapolri perlu ditingkatkan status dan dipimpin perwira tinggi minimal berpangkat Brigadir Jenderal Polisi agar mampu menjalankan fungsi kelembagaan secara setara dan efektif, di antaranya:
•Staf Pribadi Pimpinan Polri (Spripim Polri)
•Pelayanan Markas Mabes Polri (Yanma Polri)
•Sekretariat Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia (Setum Polri)
Ia menyebut adanya ketimpangan struktural karena ketiga lembaga ini berada langsung di bawah Kapolri berpangkat bintang empat, namun bertopang pada perangkat kedinasan setingkat lebih rendah dari standar struktural yang seharusnya.
“Perlu penataan ulang agar tata kelola birokrasi Polri menjadi lebih setara, profesional, dan berorientasi pada efektivitas institusi,” tambahnya.
*Sorotan Budaya Internal: Promosi dan Mutasi Bermasalah*
Sandri juga mengkritisi budaya mutasi, rotasi, dan promosi internal Polri yang dinilai belum berlandaskan meritokrasi.
“Banyak personel dengan rekam jejak bermasalah justru dipromosikan, sementara yang berprestasi tidak mendapat penghargaan yang layak. Budaya ini harus diubah total,” ujarnya.
Ia mencontohkan kontroversi naik pangkatnya sejumlah perwira tinggi yang sebelumnya tersangkut kasus Ferdy Sambo sebagai salah satu preseden buruk dalam tata kelola sumber daya manusia Polri.
“Budaya seperti ini mematikan semangat berprestasi dan menjerumuskan organisasi dalam bias kepentingan,” tutup Sandri.
Meluasnya pemberitaan hingga ruang internasional menunjukkan bahwa isu reformasi Polri bukan hanya kepentingan domestik, tetapi juga menjadi perhatian global terkait transparansi, tata kelola institusi, dan demokrasi di Indonesia.(Red)


















