Rio Sambado ; “Smart City, Kearifan lokal, Budaya Daerah, Kesejahteraan, Keadilan, Transparansi Menjadi satu Tarikan Nafas Bagi Pembangunan Kota Jakarta”
Jakarta, Metropolitanpost.id
Memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-498 DKI Jakarta, Yayasan Sanjeev Lentera Indonesia bekerja sama dengan Perkumpulan Alumni Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya (Perluni UAJ) menggelar seminar publik bertajuk “Membaca Ulang Jakarta: Dari Visi Founding Parents hingga Smart City” di Kampus Unika Atmajaya Jakarta, Senin (14/07/25).
Gagasan smart city sebagai wacana abad ke-21 menekankan pentingnya integrasi teknologi dalam pelayanan publik serta peningkatan kualitas hidup warga. Seminar ini menggarisbawahi pentingnya inovasi untuk menjawab persoalan perkotaan, termasuk melalui partisipasi publik dan efisiensi birokrasi.
Kegiatan ini bertujuan meninjau kembali relevansi visi para pendiri bangsa terhadap Jakarta saat ini, memetakan arah pembangunan kota, serta menjawab tantangan dari beragam perspektif. Tak kalah penting, seminar juga mendorong peningkatan daya saing Jakarta dari sisi sosial, budaya, dan ekonomi.
Ditemui usai acara sebagai narasumber seminar “Membaca Ulang Jakarta: Dari Visi Founding Parents hingga Smart City” , Anggota DPRD DKI Jakarta Dwi Rio Sambodo SE., MM., menyoroti pentingnya pengawasan anggaran dan kebijakan agar proyek smart city bukan hanya visible tapi juga valuable bagi masyarakat.
Rio menambahkan antara smart city, kearifan lokal, budaya daerah, kesejahteraan, keadilan, transparansi dan seterusnya menjadi satu tarikan nafas. Tidak terbantahkan satu sama lainnya semua terkolaborasi dan terintergrasi, imbuhnya.
Menurut Rio semua pemangku kepentingan termasuk pemangku kepentingan yang memiliki konsen terhadap budaya Betawi dan kearifan lokal harus bekerja keras bagaimana bisa memberikan asupan yang menarik dan mudah dikonsumsi warga Jakarta pada umumnya.
Diskusi ini sangat menarik kata Rio, temanya membicarakan hal-hal kekinian bersifat kontemporer maupun kedepan berbasis pada referensi historis. Kita tidak menjadi ahistoris, kita tidak menjadi bangsa yang amnesia sejarah karena dalam kehidupan tidak terlepas dari satu perjalanan satu sama lain yang saling bersambung tidak terputus, ungkapnya.
Sehingga kita lebih mudah mendapatkan akar masalahnya kenapa macet, kenapa banjir, kenapa kesenjangan ekonomi mencuat di jakarta dan sebagainya. Kita harus melihat ke belakang bagaimana pembangunan tidak berkeadilan sehingga kemudian melahirkan residu sosial di kota.
Bagaimana kemudian kita bisa macet- macetan karena orientasi kita adalah tidak orientasi publik sejak awal dan seterusnya, pungkasnya.