Jakarta, 7 Oktober 2025 – Plaza Promenade di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sore ini menjadi
ruang berkumpul warga. Aktivis perempuan, mahasiswa, seniman, jurnalis, dan masyarakat
umum hadir untuk satu tujuan: membicarakan bagaimana literasi digital bisa menjadi benteng
demokrasi.
Acara bertajuk “Literasi Digital, Perempuan dan Demokrasi” ini digelar oleh Suara Ibu
Indonesia (SII) bersama Dewan Kesenian Jakarta, Mafindo, Siberkreasi, Artsforwomen
dan PurpleCode Collective. Kegiatan ini bagian dari program Klik: Rakyat – Ruang Bersama,
Berdaulat, dan Setara, yang mengajak warga berdialog, menyusun agenda bersama, dan
melawan disinformasi yang merusak kehidupan publik.
Moderator Mira Sahid membuka diskusi dengan menegaskan bahwa demokrasi yang sehat
memerlukan ruang digital yang bersih dari hoaks. Tiga narasumber utama menyoroti peran
penting perempuan dan seni dalam melawan disinformasi.
Ketua Siberkreasi, Donny BU, menegaskan bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan
teknis, tetapi kesadaran politik warga. “Demokrasi hari ini hidup di layar. Siapa yang menguasai
narasi digital, menguasai arah bangsa,” ujarnya.
Ia menambahkan, literasi digital memberi warga kekuatan untuk tidak menjadi korban
manipulasi. “Setiap klik adalah tindakan politik. Ketika perempuan melek digital, dia menjadi
benteng penjaga akal sehat publik dan demokrasi menjadi lebih sehat serta empatik,” kata
Donny.
Perwakilan Mafindo, Puji F Susanti, menekankan pentingnya membiasakan cek fakta di
lingkungan keluarga. “Hoaks sering menyebar lewat grup keluarga. Satu orang yang bisa
memeriksa fakta di rumah bisa melindungi banyak orang,” katanya.
Dari PurpleCode Collective, Blandina Lintang, menyoroti perlunya ruang digital yang aman
bagi perempuan. “Perempuan tidak hanya menjadi sasaran hoaks tetapi juga kerap
menghadapi kekerasan berbasis gender di ruang digital. Literasi digital memberi alat untuk
melawan sekaligus memperluas partisipasi perempuan dalam demokrasi,” paparnya.
Setelah diskusi, acara dilanjutkan dengan Pentas Seni dan Orasi yang menghadirkan Devie
Matahari, Tersajakanlah, Dewi Nova, Anggun Pradesha, dan Emi Suy. Puisi dan orasi yang
mereka bawakan menghadirkan suasana hangat namun penuh daya juang. Seni menjadi
jembatan agar isu literasi digital terasa dekat dengan keseharian.
Seorang peserta, mahasiswa dari Jakarta, mengaku terinspirasi. “Saya baru sadar melawan
hoaks itu juga perjuangan budaya. Seni membuatnya lebih membumi,” katanya.
Forum ini menghasilkan komitmen bersama untuk memperkuat jejaring gerakan literasi digital
yang inklusif dan berbasis seni. Gagasan yang lahir dari acara ini akan dirangkum menjadi
materi kampanye yang bisa direplikasi di berbagai daerah.
Perwakilan Suara Ibu Indonesia menegaskan, mimbar rakyat ini bukan hanya diskusi.
“Perempuan dan rakyat perlu punya alat untuk melindungi diri dan komunitasnya dari hoaks.
Seni dan literasi digital adalah cara kita memperkuat demokrasi,” ujarnya.
Acara berakhir pada pukul 19.30 WIB, namun semangatnya berlanjut melalui percakapan di
media sosial dan rencana kolaborasi peserta di berbagai komunitas.