Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
BERITANasional

TOP!! YM. Apandi Tondowatu Dukung Pembentukan Majelis Adat Indonesia: “Solusi Menuju Keadilan dan Kemakmuran Bangsa”

Avatar photo
56
×

TOP!! YM. Apandi Tondowatu Dukung Pembentukan Majelis Adat Indonesia: “Solusi Menuju Keadilan dan Kemakmuran Bangsa”

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Teks Foto: Apandi Tondowatu Tokoh Adat dari Konawe, Sultra, Istimewa

METROPOLITAN POS– Apandi Tondowatu, salah satu tokoh adat asal Sulawesi Tenggara yang tergabung dalam Laskar PALAPA (Patriot Pembela Pancasila), menyatakan dukungannya terhadap rencana pembentukan Majelis Adat Indonesia (MAI) sebagai wadah pemersatu nilai luhur bangsa. Menurutnya, keberadaan lembaga adat nasional ini penting sebagai benteng moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Example 300x600

“Majelis Adat Indonesia adalah jawaban atas kerinduan rakyat terhadap hadirnya sebuah lembaga yang berlandaskan nilai luhur, warisan budaya, dan adat istiadat bangsa. Indonesia perlu kembali meneguhkan jati dirinya, bukan sekadar berjalan dalam pusaran kepentingan politik pragmatis,” ujar Apandi Tondowatu.

Lebih lanjut, Apandi menegaskan pandangan kritisnya mengenai partai politik yang dinilainya justru menjadi sumber masalah di negeri ini. Dengan lantang ia menyampaikan, “Selama partai politik masih ada, jangan harap Indonesia akan mencapai keadilan dan kemakmuran. Partai politik bukanlah jalan keluar, melainkan akar dari kerusakan sistem yang ada.”

Ia menilai, partai politik selama ini hanya menjadi tempat bersemainya ideologi dan paham-paham yang jauh dari nilai Pancasila dan adat nusantara. Alih-alih membela rakyat, partai justru melahirkan kader-kader yang kerap terjerat korupsi, menguras kekayaan negara, serta melahirkan undang-undang yang lebih menguntungkan kepentingan kelompoknya daripada kesejahteraan rakyat.

“Partai politik telah memecah belah bangsa, memicu kerusuhan, bahkan membuka pintu bagi bangsa asing untuk menguasai kekayaan negeri ini. Mereka menghalalkan segala cara demi kekuasaan, menggunakan uang, harta, dan kekuatan gelap. Padahal kemerdekaan bangsa ini tidak lahir dari partai politik, melainkan dari perjuangan rakyat, para pejuang, dan nilai adat budaya kita sendiri,” jelas Apandi.

Ia juga menyinggung sejarah ketika Ir. Soekarno membubarkan Konstituante karena hanya menjadi arena tarik-menarik kepentingan partai yang berujung pada kebuntuan. Menurutnya, hal serupa terus berulang hingga kini.

Atas dasar itu, Apandi menawarkan konsep keterwakilan golongan profesi dan pekerja sebagai alternatif pengganti partai politik. Ia menekankan bahwa wakil rakyat seharusnya berasal dari kelompok yang benar-benar memahami kehidupan rakyat, seperti perwakilan buruh, nelayan, petani, mahasiswa, hingga cendekiawan.

“Bayangkan jika wakil rakyat benar-benar berasal dari rakyat—dari para petani, buruh, nelayan, guru, mahasiswa, dan cendekiawan—maka kebijakan yang lahir akan berpihak pada kehidupan nyata masyarakat, bukan pada kepentingan segelintir elit politik,” tutur Apandi dengan penuh semangat.

Sebagai tokoh adat, Apandi Tondowatu menegaskan sumpah dan keyakinannya: jika partai politik tidak segera dibubarkan, maka bangsa Indonesia akan kehilangan kedaulatannya, kekayaan alam akan dikuasai asing, dan rakyat akan menjadi budak di negeri sendiri.

“Demi dan atas nama bangsa Indonesia, saya bersumpah: jika partai politik tidak segera dibubarkan, maka kemerdekaan hanya tinggal omong kosong belaka,” pungkasnya.

“Partai politik di negeri ini ibarat kebun buah yang dipenuhi aneka tanaman. Ada yang berdaun rimbun, ada pula yang berbuah lebat. Namun sayangnya, banyak di antaranya hanya buah semu: indah dipandang, tetapi busuk di dalam. Rakyat yang lapar diberi janji manis layaknya buah ranum, padahal saat digigit terasa pahit dan berulat.

Sebaliknya, Majelis Adat Indonesia bagaikan pohon tua yang akarnya menancap kuat di bumi pertiwi, tumbuh dari tanah leluhur dan adat budaya bangsa. Pohon ini tidak menawarkan buah semu, tetapi memberikan keteduhan, kesejukan, dan hasil yang bisa dinikmati bersama.

Jika negeri ini terus dipenuhi pohon-pohon buah semu dari partai politik, maka jangan harap rakyat bisa menikmati hasil panen yang adil. Karena itu, sudah waktunya kita menanam kebun baru: kebun yang diisi perwakilan nyata dari petani, nelayan, buruh, mahasiswa, dan cendekiawanmerekalah buah asli bangsa ini, yang lahir dari rakyat dan kembali untuk rakyat.”(B)

 

 

 

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *