Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Nasional

Capt. Hakeng: Penolakan Nama Ambalat oleh Malaysia Bukan Sekadar Nomenklatur

Avatar photo
4930
×

Capt. Hakeng: Penolakan Nama Ambalat oleh Malaysia Bukan Sekadar Nomenklatur

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

 

Capt. Hakeng: Penolakan Nama Ambalat oleh Malaysia Bukan Sekadar Nomenklatur

Example 300x600

 

Jakarta, Metropolitanpost.id

 

Sengketa penamaan wilayah maritim antara Indonesia dan Malaysia kembali mencuat ke permukaan ketika pada 7 Agustus 2025,  pemerintah Malaysia secara tegas menolak penggunaan istilah “Laut Ambalat” dalam menyebut wilayah sengketa di perairan Laut Sulawesi. Penolakan ini dinilai sejumlah kalangan bukan sekadar masalah nomenklatur, melainkan bagian dari dinamika klaim kedaulatan maritim yang telah berlangsung puluhan tahun.

DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim kritis dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), menilai bahwa sikap Malaysia harus dilihat sebagai upaya strategis dalam membentuk persepsi internasional tentang klaim wilayah mereka. “Dalam diplomasi maritim, nama bukan sekadar simbol. Ia adalah perangkat hukum dan politik yang dapat memengaruhi legitimasi klaim suatu negara atas wilayah tertentu,” ujar Capt. Hakeng di Jakarta, Jumat (8/8/2025).

Menurutnya, istilah “Ambalat” bukan semata ciptaan Indonesia, tetapi telah melekat dalam proses teknis, peta resmi, dan dokumen diplomatik nasional sebagai representasi klaim sah terhadap wilayah yang terletak di Blok ND6 dan ND7, kawasan yang kaya sumber daya migas. Sedangkan Malaysia, dalam Peta Baru 1979, secara sepihak mencantumkan wilayah tersebut sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusifnya dan menyebutnya sebagai bagian dari ‘Laut Sulawesi’.

Meski telah ditentang keras oleh Indonesia, klaim itu terus diulang dan diperkuat dengan narasi hukum, termasuk merujuk pada putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2002 terkait Pulau Sipadan dan Ligitan. Namun Capt. Hakeng mengingatkan bahwa putusan ICJ tersebut tidak serta-merta mencakup delimitasi maritim di sekitarnya.

“Putusan ICJ 2002 hanya menyangkut kepemilikan dua pulau kecil, Sipadan dan Ligitan. Ia tidak memberikan keputusan atas batas laut di kawasan itu. Jadi menggunakan putusan itu untuk membenarkan klaim atas Ambalat, adalah bentuk perluasan tafsir yang lemah secara hukum internasional,” tegas DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.

Konflik terminologi ini, lanjut Capt. Hakeng, bukan hanya perdebatan diplomatik di meja negosiasi, tetapi memiliki implikasi langsung terhadap persepsi publik, posisi hukum dalam arbitrase internasional, serta arah kebijakan luar negeri kedua negara. Kendati demikian ia mengingatkan bahwa di tengah polemik ini, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengambil sikap yang dianggap menyejukkan dan visioner. Sebagaimana diberitakan dalam pernyataannya kepada media setelah menghadiri Konvensi Sains dan Teknologi Nasional di Bandung, Presiden Prabowo Subianto menekankan bahwa Indonesia tidak menginginkan konflik terbuka dengan Malaysia.

Menurut Capt. Hakeng, jelaslah bahwa hal tersebut mempunyai itikad baik. Juga menunjukkan pendekatan khas kepemimpinan Presiden Prabowo yang dikenal mengedepankan prinsip “peaceful assertiveness”—tegas menjaga kedaulatan, namun tetap mengutamakan dialog dan perdamaian. Dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia yang memiliki sejarah, budaya, dan hubungan ekonomi yang erat, pendekatan ini dipandang sangat relevan dan strategis.

“Pak Presiden Prabowo memahami bahwa kedaulatan itu penting, tetapi beliau juga sangat sadar bahwa hubungan diplomatik yang stabil jauh lebih bernilai dalam jangka panjang,” ujar Capt. Hakeng. Lebih lanjut, menurut Capt. Hakeng, pendekatan Indonesia sebaiknya tidak berhenti pada penguatan klaim istilah ‘Ambalat’, tetapi juga membuka kemungkinan kerja sama teknis yang lebih konkret.

Disebutkan oleh Capt. Hakeng bahwa salah satunya adalah melalui skema Joint Development Authority (JDA), yakni bentuk kerja sama bilateral untuk pengelolaan wilayah sengketa secara bersama.Dijabarkan olehnya bahwa dalam pertemuan bilateral antara Presiden Prabowo dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim pada Juni 2025 lalu, kedua pemimpin sempat membahas kemungkinan tersebut.

“Jadi, JDA bisa sebagai langkah pragmatis yang dapat menurunkan ketegangan, sekaligus memberikan manfaat ekonomi bagi kedua negara.Maka jika ini dikembangkan secara transparan dan adil, JDA bisa menjadi solusi win-win. Kedua negara bisa berbagi hasil sumber daya alam, sembari tetap berproses dalam penetapan batas maritim resmi di bawah kerangka hukum internasional,” papar DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.
Blok Ambalat sendiri memiliki nilai strategis yang besar. Berdasarkan studi geologi dan data eksplorasi, kawasan ini mengandung potensi minyak dan gas bumi yang signifikan. Fakta ini menjadikan sengketa Ambalat tidak hanya bernuansa politis, tetapi juga sangat ekonomis. Oleh karena itu, menurut Capt. Hakeng Jayawibawa, kerja sama justru membuka peluang menghindari kerugian bersama yang ditimbulkan dari stagnasi politik.

Kendati demikian, ia menekankan pentingnya kehati-hatian dalam perancangan skema kerja sama. JDA tidak boleh menjadi jebakan yang melemahkan posisi hukum Indonesia dalam jangka panjang. “Setiap dokumen, peta, atau perjanjian teknis harus disusun sangat cermat. Kesalahan dalam satu frasa bisa menjadi preseden yang merugikan di kemudian hari,” tegasnya.

Penting juga, tambah Capt. Hakeng, agar masyarakat pesisir dan komunitas lokal di Kalimantan Utara—yang paling dekat dengan wilayah Ambalat—dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan dan pengawasan. “Jangan sampai JDA hanya menjadi kerja sama antar-elit yang tidak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat setempat,” tandas Capt. Hakeng.

Menariknya, baik Indonesia maupun Malaysia kini menunjukkan kematangan diplomasi yang cukup tinggi. Tidak ada provokasi militer atau manuver agresif di lapangan. Bahkan kedua negara terus mengupayakan dialog melalui jalur bilateral dan forum ASEAN. Meski begitu Capt. Hakeng menggarisbawahi ini bahwa penyelesaian damai yang berlandaskan prinsip hukum internasional adalah satu-satunya pilihan rasional.

“Indonesia dan Malaysia bisa menjadi contoh dunia bahwa sengketa maritim tidak harus diselesaikan dengan konflik. Justru, dari sini bisa tumbuh kerja sama yang produktif jika ada political will yang kuat,” ujar Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawaseraya mengimbuhkan bahwa di tengah banyaknya potensi gesekan di kawasan Indo-Pasifik, pendekatan Indonesia terhadap Ambalat bisa menjadi role model regional.

“Melalui diplomasi tenang, kerja sama pragmatis, dan konsistensi dalam menjaga prinsip hukum, Indonesia menunjukkan bahwa kedaulatan dan perdamaian bisa berjalan beriringan,” kata Capt. Hakeng seraya menekankan jika proses ini terus dijaga dan ditingkatkan, bukan tidak mungkin Ambalat kelak bukan hanya dikenal sebagai kawasan sengketa, tetapi sebagai contoh keberhasilan dua bangsa serumpun dalam mengelola perbedaan dengan cara-cara beradab. (*)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *