Hak Komunal dan Hak Ulayat dalam RUU Masyarakat Adat:
Tidak Ada Tandingan Sebagai Penyelamat Lingkungan
Jakarta, 26 Agustus 2025
Tanah dan wilayah adat bukan sekadar lahan atau aset ekonomi. Bagi masyarakat adat di Indonesia, hak ulayat dan hak komunal adalah nafas kehidupan, simbol hubungan spiritual, sosial, dan ekologis dengan ruang hidupnya. Hak komunal sebagaimana yang diatur Permen ATR/BPN No. 9 Tahun 2015 dan No. 10 Tahun 2016 merupakan hak kepemilikan bersama masyarakat adat/bukan adat yang dimiliki secara kolektif (tanah komunal, tanah adat bersama, tanah warisan kelompok), diakui secara sosial dan biasanya diwariskan dari generasi ke generasi. Sementara itu, hak ulayat yang diakui dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, yakni hak kolektif masyarakat hukum adat yang melekat pada komunitas adat, mencakup penguasaan, pengelolaan, pemanfaatan wilayah adat secara turun temurun. Persinggungan keduanya kerap dipolitisasi sebagai pemenuhan hak konstitusi terhadap masyarakat adat.
Menanggapi hal itu, Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat bersama Forest Watch Indonesia menggelar dialog publik di Jakarta 25 Agustus 2025 bertajuk “Hak Komunal dan Hak Ulayat dalam RUU Masyarakat Adat.” Forum ini menghadirkan perwakilan legislatif, akademisi, dan masyarakat sipil untuk membahas substansi RUU sekaligus mengurai kebuntuan politik yang selama ini menghambat proses legislasi.
Ketua Kelompok Fraksi PDIP di Badan Legislasi DPR RI, I Nyoman Parta, menyampaikan, “Ada perdebatan soal nama, apakah UU Masyarakat Adat atau UU Masyarakat Hukum Adat. Kekhawatiran yang muncul adalah lahirnya feodalisme baru tapi ini bisa saya tapis, raja-raja kecil yang berhadapan dengan modal, serta anggapan bahwa tanah komunal akan menghambat pembangunan. Namun negara harus hadir dengan regulasi yang jelas, karena semakin lama UU ini tertunda, konflik akan terus terjadi.”
“Masyarakat adat memproduksi kebaikan. Tidak perlu diragukan. Soal urusan lingkungan tidak ada tandingan. Apa persoalannya Undang-Undang Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan?” tegas I Nyoman Parta yang juga sebagai Masyarakat Adat Bali.
Lebih jauh, Nyoman menggarisbawahi bahwa RUU ini tidak hanya menyangkut urusan administratif, melainkan menyangkut eksistensi masyarakat adat itu sendiri. Menurutnya, frasa “mengakui dan menghormati” dalam UUD 1945 harus dimaknai secara luas, meliputi hak tradisional, hak asal-usul, serta susunan asli masyarakat adat.
Hal ini mencakup hak atas tanah dan sumber daya alam, hak untuk mengatur kehidupan sosial dan budaya, hak mempertahankan serta mengembangkan adat, hak menjalankan ritual, hingga hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian, pengesahan RUU MA bukan hanya soal kepastian hukum, tetapi juga bentuk kehadiran negara dalam melindungi martabat dan ruang hidup masyarakat adat di tengah derasnya arus investasi dan pembangunan.
Sejumlah anggota DPR lainnya, seperti Mercy Barends dari Fraksi PDIP, menegaskan bahwa perjuangan pengesahan RUU Masyarakat Adat bukanlah sekadar pilihan politik, melainkan mandat konstitusi yang sudah jelas tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945. Menurutnya, hambatan terbesar bukan terletak pada teknis administrasi atau proses legislasi semata, melainkan pada tarik-menarik kepentingan antar-kementerian yang masih kuat dan dominasi investasi yang sering mengorbankan ruang hidup masyarakat adat.
“Masyarakat adat adalah benteng terakhir hutan, gunung, pesisir, dan pulau-pulau kecil kita. Tanpa mereka, ruang hidup kita akan tercerabut” ujar Mercy Barends.
Lebih jauh, Mercy menekankan bahwa resistensi antar-kementerian menjadi faktor paling pelik yang menghambat pengesahan RUU ini. Sektor sumber daya alam, kehutanan, lingkungan hidup, kelautan, hingga agraria masing-masing memiliki privilese dan kepentingan yang melekat pada pendapatan negara. Kondisi ini membuat pembahasan RUU Masyarakat Adat seakan tersandera oleh benturan kepentingan struktural yang sulit ditembus.
“Ada 5 faktor yang menjadi penghambat RUU Masyarakat Adat tidak kunjung disahkan di DPR RI. Faktor politik seperti Tarik menarik kepentingan fraksi. Beberapa fraksi mendukung namun ada fraksi yang khawatir RUU ini akan berbenturan dengan kepentingan investasi besar, selanjutnya faktor ekonomi, faktor hukum dan regulasi, faktor sosial-budaya, dan faktor teknis” tegas Mercy Barends.
Akibatnya, meski dukungan politik di Senayan mulai terbentuk, posisi fraksi pendukung seperti PDIP masih sering berperan sebagai fraksi penyeimbang, bukan kekuatan mayoritas yang bisa mendorong percepatan pengesahan. Situasi inilah yang menjelaskan kenapa setelah lebih dari 15 tahun, RUU Masyarakat Adat tetap terkatung-katung di meja legislasi.
Pandangan serupa datang dari kalangan akademisi. Guru Besar Universitas Katolik Parahyangan, Prof. Dr. Rr. Catharina Dewi Wulansari, Ph.D, mengingatkan bahwa hak ulayat dan hak komunal tidak boleh dipandang semata sebagai urusan tanah.
“Ketika tanah diambil, pengetahuan lokal, kepercayaan, dan tradisi yang melekat juga ikut hilang. Karena itu, RUU MA harus memberikan perlindungan menyeluruh agar masyarakat adat tidak semakin tersisih.” Ia menambahkan bahwa banyak komunitas adat kesulitan secara finansial untuk membuktikan klaim mereka, sehingga prosedur pengakuan perlu dibuat sederhana dan mudah diakses.
Dialog publik ini menegaskan bahwa pengesahan RUU Masyarakat Adat bukan sekadar pencapaian legislatif, tetapi langkah strategis untuk memastikan keberlanjutan ruang hidup, hak, dan identitas masyarakat adat di Indonesia. Anggi Putra Prayoga selaku Ketua Tim Kampanye Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menegaskan bahwa tanpa pengakuan dan perlindungan yang tegas, Indonesia punya potensi kehilangan hutan alam, keanekaragaman hayati, sumber pengetahuan lokal, dan bahkan bisa gagal mencapai target komitmen iklim global karena nyaris tidak ada regulasi yang menjadi pengaman (safeguard) terhadap sumber daya alam saat ini.
“Undang-Undang Masyarakat Adat adalah jawabannya” tutup Anggi.