Jakarta – Sidang lanjutan gugatan Gedung Charoen Pokphand Indonesia Tbk. Versus Yodya Karya (Tbk) kembali bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Utara hari ini. Rabu, (18/9/24).
Sidang utama memasuki agenda mendengarkan keterangan ahli. Yodya Karya nampak tidak main main dan serius menghadapi persidangan. Sehingga, seorang tokoh ahli hukum dan mantan Hakim Pengawas MA berkenan dihadirkan dalam sidang yang dimulai pukul 15:00 WIB itu.
Keterangan ahli pun seperti menjadi angin segar bagi Yodya Karya Tbk. untuk memenangkan perkara dan terbebas dari tuntutan wanprestasi yang diajukan pemohon Charoen Pokphand Indonesia (CPI).
Dalam keterangan pembuka ahli menegaskan definisi prestasi dan wanprestasi melekat dua elemen: substantif dan material.
“Secara normatif, prestasi adalah dilaksanakannya seluruh akad dalam perjanjian. Sedangkan wan prestasi tidak terlaksananya akad dalam perjanjian, baik sebagian, maupun keseluruhan oleh sebab bukan faktor force majeur,” kata ahli dihadapan majelis hakim dalam sidang hari ini di PN Jakarta Utara, Rabu (18/9/24).
Menurut ahli, penekanan prestasi secara substansial dan material manakala perjanjian itu sudah bisa ditepati, dilaksanakan, digunakan, sekalipun masih ada pekerjaan yang belum diselesaikan keseluruhan.
“Seperti pekerjaan gorong-gorong untuk projek pembangunan rumah, misalnya, maka substansial prestasi sudah terpenuhi manakala sudah diterima, sudah dipergunakan,” lanjut Ahli.
Dengan keterangan ahli, kuasa hukum penggugat seperti tidak memiliki celah untuk pertanyaan menyerang.
Dan ketika kuasa hukum penggugat memaksakan dengan pertanyaan perumpamaan dari etikad penjual sapi yang tidak menjelaskan sapinya sakit atau penjual mobil berkecepatan 200 km/jam tetapi ekspektasi tidak terbukti, malah berbuah teguran dari hakim karena esensinya dianggap mengulang.
Kemudian, dalam perjanjian dua arah, antara Si A dengan Si B, misalnya, menurut ahli berlaku asaz sepakat. Kalau tidak ada kata sepakat, tidak ada penekanan, maka tidak ada wan prestasi.
“Maka jika Si B sebagai perencana untuk pembangunan rumah Si A membuat definisi prestasi bagi Si B menjadi faktual sebagai perencanaan jika diterima Si A lalu kemudian dilanjutkan tahap pelaksanaan dan diterima dilaksanakan oleh Si C.
“Disitulah azas sepakat faktual melekat. Selain karena Si C sebagai pelaksana terikat kode etik, manakala mengetahui ada kesalahan dalam perencanaan maka sebagai pelaksana bisa saja mengembalikan dan menolak agar dipenuhi dulu permasalahan kurang di perencanaan, baru kemudian dilaksanakan,” tandas Ahli.
Terkait ganti kerugian dan force majeur, ahli menyebut melekat asaz kerugian. Jika itu tertuang dalam akad perjanjian, maka harus diajukan hitungan kerugian material yang dialami.
“Ada penekanan perjanjian wanprestasi dengan ganti rugi, ada perjanjian ganti kerugian saja, dll, masalah menjadi berbeda jika itu perusahaan modal asing (PMA). Harus diajukan tertulis kerugian yang ditanggung oleh akibat yang bisa dibuktikan ke wanprestasi an Si B terhadap Si A,” jelas Ahli.
Jika kerugian yang ditanggung Si B terkait dokumen perencanaan, tidak bisa serta merta harus mengganti seluruh nilai material dan immaterial yang menjadi domain Si C, apalagi tidak ada potensi kerugian Si A.
“Bangunan sudah diserahterimakan, sepakat dan dipergunakan dan tidak ada potensi keuntungan yang hilang yang bisa dibuktikan,” tegas ahli.
Sedangkan Force majeour satu kondisi tertentu dimana wan prestasi tidak bisa dilaksanakan.
“Keadaan dimana wan prestasi sama sekali tidak bisa dilaksanakan, tidak ada campur tangan kemanusiaan, akibat banjir bandang, bencana alam, dst,” tutup ahli.