Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
About Us

Forum MAI: Sultan Peusangan Jeumpa XIV Tunjukkan Kesinambungan Legitimasi Kesultanan

Avatar photo
28
×

Forum MAI: Sultan Peusangan Jeumpa XIV Tunjukkan Kesinambungan Legitimasi Kesultanan

Sebarkan artikel ini
Example 468x60

Foto : Sultan Peusangan Jeumpa XIV, Ist

METROPOLITAN POST— Paduka Yangmulua (PYM) Diradja Tengku AsySyarif Alwan Thufail AlMudasyi— Sultan Peusangan Jeumpa XIV Yang di pertuan Besar di Peusangan , Aceh menyampaikan penegasan sejarah, legitimasi adat, serta kesinambungan Kesultanan Peusangan Jeumpa dalam Forum Komunikasi Majelis Adat Indonesia (MAI) yang dihadiri para raja, sultan, datuk, ratu, serta tokoh pemangku adat se-Nusantara.

Example 300x600

Dalam forum tersebut, Sultan Peusangan Jeumpa XIV menekankan bahwa eksistensi Kesultanan Peusangan bukan sekadar simbol budaya, melainkan bagian penting dari sejarah kebangsaan, perjuangan Aceh, serta sistem pemerintahan adat yang diakui dalam lintasan sejarah Nusantara.

“Kesultanan Peusangan Jeumpa adalah bagian dari simpul peradaban Aceh yang tidak terpisahkan dari sejarah perlawanan, pemerintahan, dan pembentukan jati diri bangsa,” tegas PYM Sultan Alwan Thufail di hadapan para pemangku adat nasional.

Jejak Sejarah Ampon Chiek Peusangan

Sultan juga menguraikan kembali garis sejarah inti Kesultanan Peusangan yang bersumber dari leluhur utama Tengku Muhammad Djohan Alamsyah, yang lebih dikenal dengan gelar Ampon Chiek Peusangan, lahir pada 25 Juni 1890 di Desa Paloh Iboh.

Ampon Chiek Peusangan merupakan putra dari Tengku Chik Syamaun, serta keponakan dari T. Nyak Muda Yusuf atau dikenal sebagai T. Muda Peusangan Maharaja Jeumpa. Pada tahun 1879, setelah wafatnya T. Chik Syamaun akibat sakit di Peusangan Selatan, terjadi amanah penting dalam sejarah kerajaan.

Dalam wasiatnya, T. Chik Syamaun menunjuk adiknya, T. Muda Peusangan Maharaja Jeumpa, untuk sementara memimpin Wilayah Peusangan Baru, dengan pesan bahwa kepemimpinan Ulee Balang Peusangan Barat kelak harus dikembalikan kepada T. Muhammad Djohan Alamsyah setelah dewasa.

Namun karena saat itu Ampon Chiek Peusangan baru berusia 8 tahun, maka kepemimpinan dijalankan sementara oleh pamannya.

Peralihan Kekuasaan di Masa Kolonial

Seiring perkembangan sejarah, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, wilayah Aceh mengalami restrukturisasi pemerintahan. Tahun 1905, Belanda membentuk sistem bestuurder (wedana) sebagai bagian dari pemerintahan otonom daerah. Dari total 103 wedana di wilayah bekas Kesultanan Aceh, T. Muda Peusangan Maharaja Jeumpa diangkat sebagai wedana pertama Peusangan.

Pada tahun 1908, setelah menamatkan pendidikan di Normal School Kutaraja, T. Muhammad Djohan Alamsyah resmi menggantikan pamannya sebagai Wedana Peusangan, sesuai kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Sejak saat itu, T. Muda Peusangan hanya memegang kendali sebagai Ulee Balang Cut (Peutuha) Jeumpa Bireuen.

Tahun 1917, T. Muda Peusangan Maharaja Jeumpa wafat dan dimakamkan di Cot Glee, Keude Matang, berdekatan dengan Kampus Al Muslim, Peusangan, Bireuen. Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1920, Ampon Chiek Peusangan juga wafat.

Penerus Kesultanan Peusangan Jeumpa

Pasca wafatnya Ampon Chiek Peusangan, pada tahun 1920, estafet kepemimpinan Kesultanan Peusangan Jeumpa dilanjutkan oleh salah satu putranya, yakni:

Tengku Muda Dalam Mahmud (Panglima Prang Mahmud)

Sebagai penerus Kesultanan Peusangan Jeumpa, beliau berhasil memperluas wilayah kekuasaan dengan mendirikan kawasan baru pada tahun 1923, yaitu Simpang Ulim dan wilayah sekitar Desa Madat, yang saat ini termasuk dalam wilayah Aceh Timur.

Dalam forum Majelis Adat Indonesia, Sultan Peusangan Jeumpa XIV menegaskan bahwa garis suksesi Kesultanan Peusangan Jeumpa bersifat sah secara adat, historis, dan budaya, serta harus ditempatkan sebagai bagian penting dari warisan kebangsaan Indonesia.

“Forum MAI menjadi ruang penting untuk menyatukan kembali memori sejarah para raja dan sultan Nusantara agar tidak tercerabut dari akar peradaban bangsa,” ujar Sultan.

Forum ini juga menjadi wadah penguatan sinergi antar kerajaan dan lembaga adat untuk menjaga nilai-nilai kearifan lokal, persatuan nasional, serta martabat adat Nusantara di tengah arus modernisasi.(Bar)

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *