Foto : Obor Panjaitan Aktivis, Istimewa
METROPOLITAN POST– Kota Depok kembali menjadi sorotan setelah dugaan pungutan liar (pungli) dan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mencuat ke publik. Kasus ini menarik perhatian luas, tidak hanya dari orang tua siswa yang merasa terbebani, tetapi juga dari aktivis anti-korupsi Obor Panjaitan.
Ketua Ikatan Pers Anti Rasuah (IPAR), Obor Panjaitan juga mengecam keras tindakan pihak sekolah yang dianggap mencoreng tata kelola pendidikan dan merusak nilai-nilai integritas.
Obor Panjaitan, dalam pernyataannya melalui berbagai media, menyatakan bahwa dirinya bersama tim akan melaporkan Kepala SMA Negeri 2 Depok, Mamat, serta pihak-pihak terkait, terutama Ketua Komite Sekolah.
“Apa yang dilakukan oleh pimpinan dan pengurus SMA Negeri 2 Depok sangat menjijikkan, melanggar nilai-nilai pendidikan dan integritas di lingkungan sekolah. Mereka tidak hanya merugikan secara finansial, tetapi juga membebani orang tua siswa secara psikologis,” tegas Obor, (8/11/2024) di Depok.
Detail Pungutan
Salah satu bukti kuat adanya transaksi transferan dari para korban murid ke pihak SMA Negeri 2 Depok Pungutan yang dilakukan pihak SMA Negeri 2 mencapai total Rp 2.830.000 per siswa dengan rincian sebagai berikut:
Bimbingan belajar dan persiapan UTBK: Rp 950.000
Latihan UTBK dan pengadaan sosial: Rp 120.000
Ujian sekolah (teori dan praktek): Rp 60.000
Sosialisasi SNBT dan UTBK: Rp 30.000
Ujian Tengah Semester (UTS) dan Ujian Akhir Semester (UAS): Rp 50.000
Pengurusan ijazah: Rp 50.000
Perawatan peralatan komputer: Rp 60.000
Konsumsi untuk kegiatan bimbingan: Rp 60.000
Biaya pengelolaan program selama empat bulan: Rp 100.000
Pelepasan siswa (biaya variabel): Rp 1.000.000
Biaya Teknologi dan Sistem (BTS): Rp 350.000
Total pungutan: Rp 2.830.000
Hukum Yang Dikangkangi
Obor Panjaitan menekankan bahwa tindakan tersebut melanggar Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, khususnya Pasal 10 yang melarang pungutan langsung tanpa persetujuan dan transparansi dari orang tua siswa. Selain itu, dugaan korupsi dana BOS ini juga dapat melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Undang-undang tersebut menetapkan hukuman penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, serta denda antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Atensi Publik dan Langkah Hukum
Obor Panjaitan bersama tim IPAR berencana membawa kasus ini ke jalur hukum. “Kami tidak akan tinggal diam. Praktik seperti ini mencoreng kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan. Semua pihak yang terlibat harus ditindak tegas melalui mekanisme hukum yang ada,” ujar Obor.
Menurut Obor, praktik pungli dan korupsi ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat, terutama para orang tua siswa yang sudah terbebani secara finansial. “Ini adalah tindakan kejahatan serius yang harus diberi sanksi hukum tegas agar menjadi pembelajaran,” tegasnya.
Dukungan Masyarakat
Langkah yang diambil oleh Obor Panjaitan mendapat dukungan dari masyarakat, terutama para orang tua siswa. Mereka berharap kasus ini bisa segera diselesaikan dengan transparan dan menghentikan praktik pungli di sekolah negeri. “Bukan hanya soal uang, ini adalah masalah keadilan dan integritas di dunia pendidikan,” ujar salah satu orang tua siswa.
Penutup
Kasus ini mengingatkan akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana pendidikan, terutama dana BOS yang ditujukan untuk menunjang kegiatan belajar-mengajar siswa. Pemerintah dan aparat terkait diharapkan segera melakukan investigasi dan menindak tegas pelaku yang terbukti melanggar, demi menjaga kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan di Indonesia. (Bar)