Oleh: Roedy Silitonga – Dosen Agama dan Teologi Universitas Pelita Harapan (roedy.silitonga@uph.edu)

Prolog

Pendidikan merupakan mandat yang Allah karuniakan untuk manusia lakukan dengan menggunakan kapasitas akal budi dan relasi untuk mengelola dan memelihara bumi ini. Pendidikan merupakan proses yang dialami dan dilakukan setiap orang sejak dalam kandungan sampai kematian tiba. Yayan Alfian menjelaskan bahwa pendidikan itu merupakan pengembangan seseorang untuk melangsungkan kehidupannya, yang berproses dalam dirinya secara individu (Alpian, 2019: 66-72). Proses yang dialami oleh seseorang dalam menerima berbagai pengetahuan yang benar dan mengalami suatu kehidupan yang terampil untuk beraktivitas yang berguna bagi dirinya dan orang lain serta berdampak baik bagi lingkungan di mana ia berada. Sejak dini pendidikan secara esensial diarahkan untuk memerdekakan peserta didik dari perbudakan dusta dan kebodohan serta memperlengkapi peserta didik untuk mentransformasi diri dan lingkungan hidupnya. Setiap orang penting menyadari bahwa manusia sudah berdosa kepada Allah sehingga kapasitas akal budi dan kemampuan membangun relasi telah mengalami kerusakan pada strukturnya dan arahnya, yang berdampak pada kesulitan melakukan pencarian dan penemuan kebenaran-kebenaran yang diinternalisasi Allah pada setiap karya ciptaan-Nya. Dalam keadaan seperti itu, manusia membutuhkan kuasa yang mampu mengubah stuktur dan arah akal budi dan hati nurani kepada kebenaran. Dengan demikian dasar, struktur dan arah dari setiap ilmu pengetahuan yang diperoleh dan dimanfaatkan manusia sebagai pengalaman hidup di dalam kebenaran sejati. Namun kita perlu menyadari bahwa kuasa yang memerdekakan dan mentransformasi itu tidak ada di dalam diri manusia dan tidak ditemukan di dalam alam semesta, tetapi berasal dari Allah yang memberikan anugerah-Nya kepada manusia untuk mengubah diri manusia agar optimal menggunakan akal budi dengan arah yang benar. Sementara itu, manusia merespon anugerah Allah melalui proses pendidikan yang dijalankannya seumur hidup. Menurut A. W. Pink bahwa “Freedom of will is a property which belongs to man as a rational and responsible being (2011: 26).” Sekalipun manusia berdosa dan rusak arah dan struktur hidupnya tetapi Allah masih mengaruniakan kepada manusia kemampuan berpikir dan menemukan kebenaran-kebenaran Allah di alam semesta untuk menahan perbuatan jahat dan berharap adanya kebaikan dalam kehidupan di bumi ini.Dengan demikian dibutuhkan pendidikan bagi para peserta didik yang memerdekakan dan mentransformasi supaya ada arah dan struktur dalam proses pembelajaran yang mengoptimalkan fungsi akal budi dan hati nurani manusia. Apakah pendidikan yang dijalankan dan diikuti oleh seorang peserta didik di rumah, di sekolah, di perguruan tinggi, dan di dalam pekerjaan sudah memerdekakan dan mentransformasi hidup mereka? Bagaimana pendidikan itu memerdekakan dan mentransformasi para peserta didik? Di bawah ini dijelaskan opini penulis yang berkaitan dengan hal-hal tersebut.

Pendidikan yang Memerdekakan

Pendidikan yang memerdekakan mengembalikan fungsi dan peran akal budi, hati nurani dan karakter seorang peserta didik. Upaya manusia memperbaiki dirinya untuk memperoleh pengetahuan yang benar, objektif, logis, dan komprehensif diselenggarakan secara informal dan formal. Hal tersebut dilakukan agar pengetahuan tersebut bermanfaat dan berhasil guna dalam membuat dan menggunakan teknologi (tradisional, modern, digital) yang efektif bagi pemenuhan kebutuhan manusia.Seperti yang kita ketahui bahwa ada pendidikan pra teoritis di dalam keluarga yang dialami oleh seorang anak dan ada pendidikan teoritis yang di jalankan oleh seorang anak sebagai peserta didik di sekolah sampai ke perguruan tinggi untuk mengetahui berbagai ilmu pengetahuan, mengerti kebenaran-kebenaran teoritis, dan terampil dalam menjalankan aktivitasnya untuk berkarya seumur hidupnya. Proses pendidikan itu secara bertahap dan berkelanjutan berdampak langsung pada diri para peserta didik dengan suatu pengalaman hidup yang merdeka disaksikan oleh orang tua, para pendidik, rohaniwan, sesama peserta didik, dan masyarakat dimana saja. Pendidikan itu memerdekakan para peserta didik dalam menggunakan akal budi dan hati nuraninya dengan benar sehingga terbentuk kaum intelektual yang berkarakter saleh dan sebagai agen transformasi di setiap bidang yang dikuasainya.
Proses pembelajaran di rumah, di sekolah, di kampus, dan di dalam dunia pekerjaan atau bisnis merupakan rangkaian proses pendidikan seumur hidup yang dapat memberikan gambaran tentang apa yang ada di dalam pikiran perbuatan, dan juga hasil karya manusia. Akan tetapi karena struktur dan arah pada diri manusia sudah rusak karena dosa sehingga pengetahuan yang dipelajari, keterampilan yang dilakukan dan hasil yang diperoleh dari pengetahuan itu telah menyebabkan terjadinya kehidupan yang bertentangan atau menolak dengan segala kebenaran yang komprehensif. Seperangkat pengetahuan yang diperoleh dan yang dipelajari seseorang yang membentuk dan memperlengkapi pemikiran, perkataan dan perilakunya. Demikian juga pengalaman seseorang melalui kontruksi relasi yang ada dalam kehidupannya di rumah, di sekolah, di tempat ibadah, di tempat pekerjaan dan di dalam masyarakat berdampak pada pembentukan pemikiran dan karakternya. Dengan demikian pengetahuan yang benar dan pengalaman yang baik merupakan konstuksi pendidikan yang memerdekakan peserta didik dari belenggu kebodohan apa pun menuju hidup yang bijaksana. Walaupun masih ada pengetahuan yang belum terbukti kebenarannya secara utuh dan lengkap, serta masih ada pengalaman hidup yang belum membentuk karakter yang saleh, tetapi pendidik dan peserta didik terus-menerus meningkatkan kualitas belajar dan pembelajaran sesuai kebutuhan. Pendidikan yang memerdekakan ialah pendidikan yang memberikan arah dan struktur pada kehidupan manusia untuk kembali kepada kebenaran dan kebaikan Allah. Ketika pendidikan yang dilalui atau diikuti seseorang bersumber dari pengetahuan yang belum teruji kebenarannya dan bahkan diajarkan informasi dan data yang tidak benar dan manipulasi belaka, seperti teori evolusi tentang asal usul manusia yang berasal dari primata. Dampak dari pengetahuan seperti ini bagi seseorang ialah pembentukan karakter yang tidak menghargai sesama sebagai ciptaan Allah dan berupaya untuk bersaing mempertahankan kehidupannya dengan konsep “siapa yang kuat, ia yang akan bertahan hidup.” Pendidikan dengan pengetahuan yang tidak benar, tidak memerdekakan dan tidak mentransformasi peradaban manusia. Pemikiran ini juga ada di dalam pemikiran Imanuel Kant yang menyetujui orang-orang sezaman bahwa pendidikan sejati itu membangun moralitas rakyat yang berwawasan dan memerdekakan manusia (Munzel, 2012).
Karena itu segala bentuk kebohongan dan manipulasi data/informasi yang pernah dijadikan sebagai teori atau konsep atau pengertian di dalam pembelajaran tentang berbagai pengetahuan harus disingkirkan dan dibuang, selanjutnya segera diganti dengan pengetahuan yang benar, logis, obyektif dan komprehensif. Setiap orang yang belajar secara pra teoritis di rumah dan teoritis di sekolah dan di perguruan tinggi membutuhkan pengetahuan yang membangun karakter bermoral dan transformatif untuk mempertanggung jawabkan arah dan struktur yang digunakan dalam mendidik sesama manusia seumur hidupnya.
Orang tua berkewajiban mendidik anak-anaknya di dalam pengetahuan yang benar, yang berkaitan dengan realitas, pengetahuan, nilai dan makna kehidupan, serta kemanusiaan agar setiap anak memiliki keterampilan menggunakan akal budi dan membangun relasi dengan sesama serta penggunaan sumber daya alam dengan tepat. Sejalan dengan hal itu, para pendidik di sekolah atau di kampus memberikan arah dan struktur pengetahuan yang benar berdasarkan pada pengetahuan yang teruji secara objektif, logis, dan komprehensif sesuai dengan bidang pengetahuan yang dipelajari baik itu sains, humaniora sosial, seni, dan bahasa. Seluruh pengetahuan yang benar itu memerdekakan seorang peserta didik dalam membangun keterampilannya dan hubungannya dengan diri dan sesama serta mampu mengelola sumber daya yang ada pada dirinya dan di alam untuk peningkatan kehidupan yang sejahtera dan beradab. Dengan demikian pengetahuan yang benar dan keterampilan yang berguna dapat mentransformasi pikiran dan perkataan serta perbuatan pada diri peserta didik agar menghasilkan suatu karya yang kreatif dalam proses pembelajaran secara sistematis dan praktis di sekolah dan di kampus. Pendidikan yang memerdekakan manusia dapat menjadi kekuatan melawan segala bentuk kebohongan atau manipulasi data yang di internalisasi orang jahat di dalam sistem kehidupan manusia di bumi ini melalui lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi. Pendidikan itu akan menjadi kekuatan yang memerdekakan orang-orang yang terbelenggu dengan berita-berita bohong dan pengetahuan-pengetahuan palsu atau tidak utuh serta keterampilan-keterampilan yang merusak diri, sesama, dan lingkungan alam. Pendidikan yang memerdekakan akan membawa peradaban kepada kehidupan yang penuh damai sejahtera dan berguna bagi masa depan setiap generasi. Setiap orang yang ada di dalam kebenaran akan mengalami kemerdekaan sejati. Bebas dari perbudakan dan kebodohan. Kebenaran diajarkan, dimengerti dan dilakukan melalui pendidikan yang bersifat transformatif dan berkelanjutan. Allah mengaruniakan kebenaran di alam semesta untuk ditemukan manusia melalui proses pembelajaran secara pra teoritis dan teoritis. Proses pembelajaran itu memerdekakan seseorang untuk mengenal Allah, diri sendiri, sesama, dan alam semesta supaya kemanusiaan mengalami kemerdekaan sejati dalam peradaban manusia.

Pendidikan yang Mentransformasi

Tari dan R. H. Hutapea (2020: 1-14) menggunakan pemikiran dari Guilford untuk menggambarkan proses pendikan nilai kepada peserta didik, yang mencakup (1) mendidik dan melatih melalui sinergisitas pembelajaran dan bekerja bersama-sama; (2) membentuk keperibadian yang dinamis, percaya diri, berani, bertanggung jawab dan mandiri; (3) proses pembelajaran dilakukan di dalam dan di luar kelas yang tidak dibatasi dengan waktu; (4) memberikan contoh perbuatan baik untuk membentuk karakter yang baik. Keempat strategi yang mentransformasi ini bersifat praktis. Pencapaian tersebut dapat terlaksana hanya mungkin dilakukan oleh pendidik di rumah (orang tua), di tempat ibadah (rohaniawan) dan di sekolah pada peserta didik (anak, jemaat, murid) yang telah menerima berbagai pengetahuan yang benar, pengalaman hidup yang baik, serta teladan saleh yang dijadikan contoh bagi peserta didik. Namun demikian ada beberapa hal yang membuat seseorang tidak mengalami kemerdekaan dalam proses pembelajarannya di rumah, di sekolah atau kampus, dan dalam tempat pekerjaannya. Pertama, pendidikan yang dilaksanakannya belum sesuai dengan kemampuan kebutuhan, dan potensi yang ada pada diri pesertadidik sehingga yang disampaikan dan dipelajari hanya sebatas pada pengetahuan saja. Kedua, pendidik yang belum membimbing dan memberikan contoh yang benar dan baik sesuai dengan bidang pengetahuan yang diajarkan dan dipraktekkan baik di kelas maupun di lapangan. Ketiga, kurikulum dan rencana pembelajaran yang disusun belum memiliki struktur dan arah untuk mentransformasi kehidupan Peserta didik di masa kini dan masa yang akan datang. Keempat, pelaksanaan pengelolaan sistem pembelajaran dan perangkat elektronik atau digital yang belum dimiliki dan belum dikuasai penggunaannya oleh pendidik maupun pesertadidik sehingga pencarian sumber-sumber data dan buku-buku serta artikel-artikel terbaru belum terpenuhi dengan baik dan relevan. Kelima, pentingnya mempersiapkan peserta didik untuk mempraktekkan ilmu pengetahuan yang sudah dipelajari dari pendidik, buku, artikel, dan pengalaman Selama belajar ke dalam kehidupan yang berkaitan dengan keilmuan dalam dunia usaha dan bisnis. Keenam, pihak lembaga pendidikan perlu dan penting melaksanakan kerjasama dan kolaborasi dengan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan, seperti industri, jasa, dan berbagai lembaga bisnis dan ekonomi serta perkembangan pengetahuan secara menyeluruh.
Beberapa hal yang membuat pendidikan itu sungguh-sungguh merdeka dan mentransformasi kehidupan, yaitu: Pertama, pendidikan itu berbasiskan pada kebenaran yang obyektif, logis dan utuh yang diuji secara teoritis dan praktis sehingga berguna langsung untuk kehidupan; Kedua, Proses pembelajaran memberikan jawaban atas isu-isu kemanusiaan dan alam semesta yang relevan dan kontekstual sesuai kebutuhan zaman yang esensia; Ketiga, Peningkatan penggunaan akal budi, panca inderawi, hati nurani dalam satu kesatuan dengan sikap hati takut akan Allah dan mengasihi sesama; Keempat, Pendidikan yang memanusiakan manusia sebagaimana Allah menghendaki kita untuk memperlakukan sesama seumur hidupnya; Kelima, Pendidikan yang selalu menghadirkan damai sejahtera untuk merestorasi hubungan dengan Allah, manusia, dan alam semesta bagi kemuliaan-Nya.

Epilog

Pendidikan yang memerdekakan dan mentransformasi mengarahkan hidup peserta didik untuk menjadikannya manusia yang seutuhnya di dalam terang kebenaran Allah. Peserta didik menyadari siapa dirinya dan perannya di bumi ini berdasarkan kesadaran akan keberadaannya di hadapan Allah. Dengan demikian pendidikan yang memerdekakan merupakan upaya yang sistematis, terstruktur, dan menyeluruh di setiap sektor kehidupan untuk mentransformasi kehidupan manusia di manapun dan kapanpun. Hal itu dapat terlihat dari aktivitas belajar secara terstruktur dan juga aktivitas keterampilan secara terarah, serta juga aktivitas pelayanan secara menyeluruh untuk kehidupan peradaban yang bernilai dan bermartabat. Karena itu pendidikan yang memerdekakan selalu diawali dari sikap hati yang sungguh percaya kepada Tuhan Allah dan sekaligus mentalitas untuk berkarya bagi kesejahteraan manusia.

Referensi

Alpian, Y., Anggraeni, S. W., Wiharti, U., & Soleha, N. M. (2019). “Pentingnya Pendidikan Bagi Manusia.” Jurnal Buana Pengabdian, 1(1), 66-72.

Martin, C. (2019). F. Munzel. “Kant’s Conception of Pedagogy: Toward Education for Freedom. Studies in Philosophy and Education, “38(3), 343-345.
Pink, A. W. (2011). “The Total Depravity of Man.” Fig.

Tari, Ezra., dan R. H. Hutapea. “Peran Guru Dalam Pengembangan Peserta Didik Di era Digital.” Jurnal Kharisma: Jurnal Ilmiah Teologi, Vol. 1, No. 1 Juni 2020.

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini